Salam

Terimakasih atas kesediaanya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini. Semoga memberi manfaat. Keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan semoga senantiasa melingkupi kita semua. Mari menikmati hidup ini...

Sabtu, 31 Desember 2011

Bosan

Semenjak sore dilanda kebosanan. Bosan tidur, bangun, makan, tidur lagi. Ingin melakukan hal lain bisa menenangkan dan menyenangkan hati. Jika hati ini tak tenang, akan merembet kepada yang lainnya. Aku ndak mau itu terjadi. Maka harus aku cari solusinya. Aku pamit istri untuk keluar sebentar, entah ngopi atau yang lainnya. Aku masih bingung mau ke mana. 

Sampai juga ke Togamas jalan Diponegoro. Sebuah toko buku yang ada di surabaya. Melihat judul-judul buku. tak ada yang menarik. Tak ada yang pas untuk dibeli.

Saat di toko buku, aku meneliti judul-judul buku. Namun yang lebih aku teliti adalah hati ini. Mengapa kok merasa gelisah? Galau, kata anak muda. Berarti ada yang tidak beres. Berharap menemukan buku yang bisa menentramkan. Sekitar satu jam, tak jua ketemu.

Hampir aku mau pulang, aku menemukan kutipan kalimat disampul buku bagian belakang. kurang lebih seperti ini, “Jika kehidupan selalu dipenuhi hiruk pikuk, maka mendapatkan kesendirian merupakan hal yang sangat berharga yang kita miliki.” Aku baca lagi beberapa kali. Kemudian terpikir tentang “kesendirian”. Em, mungkin itu yang harus kulakukan.

Tak lama adzan maghrib berkumandang. Dari mesjid sebrang. Aku merasa saat inilah untuk menyendirikan diri dari hiruk-pikuk. Mendirikan solat, menentramkan hati. Beristirah. Konon Rasul selalu sholat jika beliau ingin istirahat. Istirahatnya adalah dengan sholat. Sebelum beranjak dari toko buku Aku ambil buku tipis “Mukjizat Sholat” yang berisi tentang hadist-hadist pilihan Riyadus Shalihin karangan Imam Nawawi. Kuambil dari meja buku obralan seharga lima ribu rupiah. Dari pada keluar toko buku dengan tangan kosong. Aku membayarnya di kasir. Sambil meminta tolong untuk mengecek uang limapuluh ribu yang aku anggap palsu. Tenyata asli.  Ternyata itu uang baru.

Selepas membayar parkir seribu rupiah, kemudian mencari Musholla atau masjid dengan motor. Agak lama. Berhenti di jalan Karah Surabaya. Langit mulai memadam. Temaram lampu mulai terlihat kontras dengan warna langit. Aku mendengar bacaan kalimat tayyibah dari corong masjid. Nampaknya bacaan tahlil. Malam ini malam jumat. Orang orang akan kirim doa kepada yang telah meninggal.

Berhenti di masjid “Syukron Maghfuro” yang artinya bersyukur atas ampunan Tuhan. Aku masih mendengar imam sholat memimpin tahlil. Tahlilnya masih separuh jalan nampaknya. Kuambil air wudhu. Di dalam kulihat hanya ada satu jamaah di belakangnya sang imam. Sama-sama sepuh berbaju batik berkopyah hitam agak menceng tak simetris. Juga ada beberapa orang musafir yang sholat kemudian pergi.

Mencoba sholat dengan khusuk. Menikmati gerakannya, memahami maksud yang terkandung dalam bacaannya. Sejurus kemudian hati menjadi tenang. Benar apa yang telah disabdakan, bahwa hanya dengan mengingat Alloh hati menjadi tenang. Kegelisahan akan berlalu. Semua tidak tetap.

Setelah sholat magrib aku tunaikan, aku membuka tas, membuka buku yang baru aku beli. Kudapati halaman yang mebicarakan mengenai sholat sunnah setelah Maghrib. Kubaca, kemudian kususul melaksanakan sholat sunnah. Menjadi lebih tenang.

Imam dan makmum di masjid itu belum selesai melantunkan kalimat-kalimat thayyibah. Hampir akhir. Aku beranjak dari masjid itu.  

Kustarter motor, bermaksud cari warung kopi. Namun aku wurungkan karena melihat warung internet. Mampir sebentar untuk mengecek fesbuk. Ada yang menandai aku mengenai catatannya. Mas Iqbal Dawami dan mas Ahmad Junaidi. Dua-duanya bercerita mengenai seseorang yang sregep sholat. Istiqamah dalam manjalankan shalat. Wak Dullah dan Cak Gimun. Aku belajar darinya. Pas sekali. Wak Dullah mengingatkanku pada kakek yang juga istiqamah dalam sholatnya. Dan anak-anaknya telah menjadi “orang” semua. Cak gimun mengingatkanku pada bapak yang juga gemar mengumandangkan azan di langgar sebelah rumah. Setelah hampir satu jam menjelajah fesbuk. Aku berniat pulang.

Pulang. Perut lapar. Tadi Istri berpesan untuk makan saja di rumah. Karena ia sedang memasak saat aku tinggal tadi. Aku belikan camilan kesukaannya. Kerang rebus di dekat rel ketintang. Ndak tahu itu termasuk camilan atau tidak.

Setibanya di rumah kami makan bersama dengan masakan yang telah disediakan istriku, setelah itu dilanjutkan dengan sesep-sesep bersama. Nyesep gurihnya kuah kerang. Dan mengunyah dagingnya yang kaya dengan protein. Cocok untuk “manten anyar”. Apalagi malam ini malam jumat.

Hilanglah sudah rasa bosan dan gelisah yang mendera diriku sedari sore tadi.

Alhamdulillah..

[]
Ahmad Shobirin/Kamis,29 desember 2011/21:34

Rabu, 21 Desember 2011

Bagaimana Kau Menjadi Guru?

Mumpung mau liburan sekolah (sekarang sedang bagi rapor) ada baiknya untuk menyegarkan kembali pikiran serta perlu untuk bercermin diri, tentang apa yang telah aku lakukan sebagai guru satu semester ini. Juga mengisi pikiran dengan pemahaman-pemahaman baru atau dengan pemahaman-pemahaman lama yang telah telah tertindih dengan rutinitas tanpa pemaknaan.

Sembari ngopi, buku karangan Eko Prasetyo, “Mendidik itu Melawan” sepertinya enak untuk dinikmati juga.

Ada kata-kata hikmah yang menarik dari buku Eko Prasetyo yang dikutipnya dari (The Tso Chuan. Abad ke-5 SM) ia menuliskan, “Orang yang sangat mulia adalah orang yang mempelopori suatu gerakan moral yang berguna bagi generasinya dan juga generasi berikutnya; selanjutnya adalah orang yang memberikan jasa besar bagi masyarakat pada umumnya; dan selanjutnya orang yang kata-katanya memberikan pencerahan-pencerahan dan inspirasi bagi orang lain. Inilah tiga pencapaian yang tidak pernah mati dalam kehidupan.”

Aku pikir, guru adalah ketiga orang yang disebut oleh Tso Chuan di atas. Ia mengajarkan moral yang baik yang pasti akan berguna bagi kehidupan generasi berikutnya, juga ia telah berjasa atas apa yang telah dilakukannya kepada masyarakat dengan ketulusan serta mampu memberikan pencerahan dan inspirasi bagi orang lain.

Eko Prasetyo mengatakan bahwa, dalam melihat pendidikan, Aristoteles dan Tan Malaka mepunyai pandangan yang sama. Keduanya percaya bahwa tugas guru adalah melayani dan menemani murid dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan dasar. Sekolah bukan tempat menumpahi murid dengan tumpukan informasi tetapi melatih kematangan berpikir serta kedewasaan sikap. 

Nampaknya aku belum melakukan hal itu semua.

[]

Ahmad Shobirin/21/12/11

Jumat, 28 Oktober 2011

Ngajar Parikan (pantun jawa) Siswa Kelas 5

Pagi tadi mengajar bahasa jawa kelas 5. Materi tentang parikan. Seru.  Nih karya dari ana-anak kelas lima. Coba kalian nilai sendiri ya. Begini parikannya.


Ono nyamuk, mangan korek
Ojo ngamuk, engko cepet tuwek
(fahmi 5b)

Para setan dulinan dadu
Dadi arek sing rajin sinau
(dhira 5b)

Ono godhong ing omah
Dadi wong ojo serakah
(jessi 5b)

Tukang soto, udan-udan
Teruso, jaga kesehatan
(Oliv 5b)

Ono jin, sing mangan gedhang
Sing rajin, ben disayang
(syerly EW 5b)

Ono ojan bagi kentang
Ono Nathan lagi telanjang
(fahri 5b)

Abang-abang kembang mawar
Yen wani nantang, gawe sego kudu ditakar
(steven 5b)

Ono jemuran ing majakerta
Aja tiduran lek maca

Ana wong mlaku-mlaku
Rajinrajinlah maca buku
(tiara 5b)

Ono jin lagi ngajar
Rajin-rajinlah belajar
(tasya 5b)

Obong-obong iwak peyek
Dadi wong ojo ngenyek
(ivana 5b)

Ada durian ditepi kali
Ada soal uraian di kota bali
(natan 5b)

Ijo-ijo werno gedang
Ono sego lawuh kentang
(wisnu5b)

Ana telur dadi pitik
Ojok lali wijik
(florence 5a)

Lair ing balik papan, gede ing palu
Ojo nangisan, engko malu
(rafly 5b)

Ana tikus mangan es teler
Masio kurus tapi lak pinter
(jefer 5a)

Ana pitik nyebrang dalan
Wong apik disayang Pengeran
(sheryl 5a)

Mangan sayur mangat kupat
Mangano sayur supoyo sehat
(sya sya 5a)

Ana aditya, nduwe sawah
Tetep usaha, ojo nyerah!
(nanda 5a)

Ana iwak mangan es campur
Masio cilik mlayune banter
(rizal 5a)

Ana anggrek di pangan pitik
Masio elek, tapi atine lak apik
(axel 5a)

Aja nesu mangan sambel
Aja kesusu soale lagi nyabel
(j. aurellia 5a)

Aku duwe kanca jenenge langit
Jupuken cita-cita nang nduwur langit
(lea 5a)

Ana gajah gedhe, kekuwatane cilik
Awake gedhe, wateke cilik
(Fio 5a)

Aku minggat nang jakarta
Tetep semangat ojo putus asa
(jasmine 5a)

Kiki, lagi ngombe kelapa
Saiki, dina sumpah pemuda
(rania 5a)

Ana macan gedhe, macane mangan pitik
Masio gedhe tapi tetep cantik
(aditya 5a)

Ono wong ngamen, untune mrongos
Ojo sering mangan permen, engko untune tongos
(ody 5a)

Kembang anggrek, rumambat ing bethek
Nganti tuwek, ngelmu iku ora entek
(david 5a)

yu suminten rambute morat maret
cukup semanten parikane murid-murid
(pak obi)



Jumat, 21 Oktober 2011

Mengeja Samudera



ijinkan aku mengeja
ilmu-Mu yang terhampar menyamudra
namun sebelumnya
kenalkan aku dengan huruf-hurufnya

 
Ahmad Shobirin/21/10/11

Kamis, 20 Oktober 2011

Kerja


Membaca bukunya Parlindungan Marpaung “Setengah Isi Setengah Kosong” secara acak. Ada kata-kata yang nyantol kepada diriku, berkaitan dengan kerja.

Kata parlin dalam buku itu:

“Kerja yang memiliki value (nilai) tinggi adalah kerja dengan kesungguhan hati, usaha yang maksimal, calling (panggilan). Jadi bukan karena bujuk rayu”


Kita mungkin bosan dengan hidup gini gini saja. Kerja, tidur, kerja, tidur, kerja tidur. Kantor, kamar tidur, kamar kecil. Cuma itu-itu saja tempat kita. Jika kita merasa demikian hal itu mempunyai kemungkinan bahwa kita masih belum bisa mentransendenkan apa yang kita lakukan? Seseorang berkata bahwa, siapa yang bisa mentransendenkan segala sesuatu, maka ia mempunyai spiritualitas yang tinggi.  


Nilai hidup kita seringkali dipandang rendah karena semata-mata kerja kita adalah untuk uang dan kemauan-kemauan/pencapaian-pencapaian pribadi, apapun pekerjaan itu. Dan bekerja untuk diri sendiri, nampaknya tak akan memberikan kepuasan yang lebih. Harus ada keberbagian dengan orang lain. Orang lain mendapatkan manfaat dari diri kita.



Karena itu, “Jangan meniati hanya untuk menumpuk batu bata, tapi niatilah untuk membangun istana” bahkan lebih tinggi dari itu.

Bergairahlah dalam segala sesuatu! Dan nikmatilah! 

[]

Ahmad Shobirin/20/10/2011

Selasa, 18 Oktober 2011

Yang penting sholat


Kita selalu mencari formulasi hidup. Agar bisa tenang dan tentram. Kita itu kalau sedang “susah” baru ingat Tuhan. Kalau senang, Dia kita abaikan, “minggir dulu deh Han..”, ketelisut. tapi itulah baiknya Tuhan, Ia senang dikangeni, senang dirindui, maka kita diberikan rasa sempit itu, kemudian kalau sudah merasa sempit, pikiran dan hati kita digerakkan untuk ingat sama Dia. Dialah Al Qabidh, maha Menyempitkan.

Lalu kita menghadap kepadaNya. semua masalah akan hilang, kita tenang, ia melapangkan dada kita, Dialah al Basith, yang Maha Melapangkan.

Kita itu sering lupa, baiknya Allah lagi, Dia memberikan metode yang makjleb, yaitu sholat, 5 waktu dalam sehari. Agar mengingat-Nya. 

“Lha kalau saya sudah ingat, berarti ndak perlu sholat?!”. 

"Karepmu rek! lha wong saat sholat saja kita sering lupa sama Tuhan"

Aku ikut prinsipnya anak ibu kosku yang dulu saja, mas Aziz namanya, ia mengatakan “Sholat keterimo gak keterimo iku urusane Gusti Alloh, sing penting kene gak sampe ninggalno” sikap kepasrahan dan pengabdian yang kepada-Nya.

Urip iku sing penting nglakoni, kalau ndak mau dilakoni yo dilakeni.  

[]
>Ahmad Shobirin/18/10/11

Kamis, 13 Oktober 2011

Menikmati Kebahagiaan

Pagi ini dengan secangkir kopi susu dan roti coklat. Ada tumpukan soal UTS murid-muridku SMP yang masih belum aku koreksi. Ada dua buku yang ada di meja ruanganku. Getting Unstuck dan The Art of Happiness. Aku pilih membaca The Art of Happinessnya Khalil A. Khavari dulu, buku terbitan Serambi. Yang lain menyusul.

“Apabila Anda tidak benar-benar bahagia, sangat mungkin Anda tidak sedang melakukan sesuatu yang benar.” kalimat pembuka yang mantap. Membuat berpikir, apakah kita benar-benar bahagia? Jika tidak, ada baiknya kita rehat sejenak, berjalan-jalan, dan mengambil langkah langkah penyesuaian. Kebahagiaan itu kan hak asasi kita.

Kesana kemari, sekolah dari TK hingga Kuliah, kerja siang malam, menikah, mempunyai anak, bepergian, ngopi, makan, minum, dan lain sebagainya, sampai melakukan hil-hil yang mustahal sekalipun itu semua hanya untuk mendambakan kebahagiaan itu. Jika tidak mendapatkan hal itu, meski kita sudah jungkir walik maka berarti ada yang salah, dengan diri kita. Buat apa hidup kalo ndak bahagia?

Khavari membisiki kita dalam buku ini bahwa untuk meraih kebahagiaan itu, kita hanya butuh menemukan dan mengembangkan wilayah dalam diri kita yang sering kita abaikan, yakni spiritualitas. Jika kita mengoptimalkan kemampuan itu, niscaya kita dapat meraih kehidupan yang bahagia dan memuaskan.

Teladan Hidup Sang Nenek
Khavari membuka buku ini dengan kisah yang buagus. Beliau bercerita mengenai seorang seorang yatim piatu yang di asuh oleh neneknya. Sang nenek selalu memberikan pekerjaan kepadanya, menyapu, mengusir ayam, menggembala kambing. Si cucu merasa lelah sekali. Namun sang nenek masih memberinya pekerjaan lagi.


Sang nenek pun demikian, beliau tak pernah istirahat. Beliau selalu mengerjakan sesuatu, sebab ada bertumpuk-tumpuk pekerjaan yang mesti diselesaikan. Sang nenek akan menyuruh cucunya itu mengantar seteko susu ke rumah di ujung jalan, membawakan sekantong gandum ke rumah nomor dua sebelah kiri dari kebun apel dan lain sebagainya. Si cucu selalu membantunya, meskipun ia merasa sangat capek. Karena itulah Ia selalu merindukan saat malam, saat di mana ia bisa beristirahat. Dan seandainya saat ia tidur dibunyikan meriam disebelahnya ia tidak akan bangun karena saking capeknya.

Secara perlahan usaha sosial sang nenek berkembang. Semakin banyak orang yang mendapatkan barang-barang ala kadarnya yang mereka butuhkan dari sang nenek. Sebaliknya, jika orang-orang punya sesuatu, mereka akan memberikan pada nenek itu.

Sang nenek mengajarkan banyak hal bukan dengan kata-kata namun dengan perbuatan dan bagaimana ia menjalani kehidupan. Ia mengajarkan si cucu membaca, memberi petuah-petuahnya yang arif saat malam menjelang si cucu tidur. Seringkali juga sang nenek meberikan jatah makan malamnya kepada orang yang membutuhkan, sehingga ia dan si cucu hanya makan air daging sebagai pengganjal perutnya sampai pagi.

Suatu saat si cucu bertanya kepada neneknya, “Mengapa nenek selalu merasa bahagia? Nenek bekerja sedemikian keras, tapi tak mempunyai apa-apa?”. Kemudian sang nenek menjawab dengan jawaban yang tak pernah dilupakan oleh si cucu. “Kebahagian terasa tak hanya ketika mendapatkan apa yang kamu inginkan, tetapi juga menginginkan apa yang telah kamu dapatkan. Aku puas dengan apa yang aku dapatkan. Cinta Tuhan dalam hatiku, kamu, dan desa yang penduduknya memungkinkanku hidup seperti yang kudambakan ini”.

Si cucu bilang bahwa ia nyaris tak pernah melihat sang nenek tidur. Sang nenek tidur di tempat si cucu tidur, lama setelah si cucu tertidur. Manakala si cucu bangun sang nenek sudah bangun dengan nyanyian dan doa-doanya yang menentramkan. Si cucu bertanya, “Apakah nenek tak pernah tidur?, sang nenek tersenyum, lantas berkata, “Ada teramat banyak pekerjaan yang harus dirampungkan sementara waktu kita sedikit sekali. Tak baik bila kita menghabiskan sepertiga waktu kita untuk tidur. Aku tidur sebatas untuk menyegarkan badan agar dapat bekerja sebagaimana yang kuinginkan.”

Suatu pagi sang nenek belum bangun, beliau masih tidur dengan senyum yang manis. Sepertinya sedang mimpi indah. sementara si cucu sudah bangun. Si cucu berjalan berjingkat pelan agar tak mengganggu sang nenek. Ia mengerjakan tugas sehari-harinya. Satu jam berlalu, sang nenek belum muncul. Si cucu mengintip ke dalam rumah. Sang nenek tak bergerak sama sekali, namun senyumnya masih megembang, beliau telah meninggal.

Sang cucu berurai air mata, begitu juga orang-orang, mereka semua kehilangan orang yang baik. Sang cucu ingat perkataan sang nenek “Kamu tentu berharap orang-orang merayakan kelahiranmu dan menagisi kematianmu”.

Hidup terus bergulir, Sang cucu meneruskan usaha sosial sang nenek seorang diri sebentar sebelum ia menikah. Ia dipertemukan dengan seorang istri yang juga suka melayani orang-orang yang membutuhkan seperti sang nenek. Mereka berdua bekerja dengan tujuan untuk membantu orang-orang lain mempertahankan hidupnya. ia meneladani sang nenek. Baginya, sang nenek telah menemukan rahasia kebahagiaan sejati. Sang nenek percaya bahwa kebahagiaan adalah hidup di dunia ini, bukan menjadi duna ini. baginya, kebahagiaan sesungguhnya terletak dalam realitas spiritual kita, dalam hidup yang melayani, dalam kerja yang membawa kebaikan. Mereka berdua meneladani betul kehidupan sang nenek, dan karenanya mereka mendapatkan kebahagiaan saban hari.

Begitulah sedikit kisah yang saya cercap dari buku ini bersama sruputan kopi susu pagi ini. Sebuah kisah hidup yang membuat terkesan. Buku ini mengajak kita agar senantiasa mampu untuk menciptakan kebahagiaan dalam setiap keadaan. Saya berdoa semoga kita semua diliputi kebahagiaan, kesejahteraan dan berkah Tuhan dalam hidup ini.
***

Sekarang koreksi soal UTS anak-anak dulu, semoga nilai-nilainya bagus-bagus, anak-anak bahagia, gurunya bahagia, walimurid bahagia, kepala sekolah bahagia, semua bahagia. Hehe. Menjadi guru yang baik, yang selalu melayani dan membantu siswa-siswinya yang haus akan ilmu dan untuk mendapatkan telaga hikmah..

Salam bahagia.
[]
Ahmad Shobirin Obiyoso

Kamis, 29 September 2011

Ia bertanya pada angin, tentang Tuhan

Dikisahkan,

Meski hidup dikehidupan moderen, bukan lagi dikehidupan pewayangan, atau seperti satria-satria yang berada di hutan, Abyasa seringkali membayangkan bahwa ia sedang berada di hutan belantara yang begitu menyeramkan. Ya perkotaan memang layaknya hutan belantara yang seringkali ada binatang binatang buas. Bedanya kalau di hutan beneran binatang buasnya adalah juga binatang beneran. Kalau di kota binatang buasnya adalah manusia itu sendiri. binatang jadi-jadian.

Maka di tengah kesibukannya mengejar dunia, ia juga menginginkan suatu hal yang sejati. Maka, ia mencarinya di manapun, dan ia punya keyakinan bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang sejati itu tidak sulit, hanya saja perlu adanya upaya yang terus menerus, butuh ketekunan yang kuat. Karena untuk memperoleh hal yang sejati tak bisa main-main. Memang benar kesejatian itu tak akan hilang. Seharusnya ia tak usah dicari karena ia selalu ada. Maka sebenarnya yang harus dicari adalah kesejatian dirinya sendiri. Kemurnian hatinya sendiri untuk bisa mengetahui yang sejati itu.

Ia bertanya pada angin, bagaimanakah cara untuk mendekati Tuhan? maka angin memberikan jawaban dengan hembusan yang kencang, sehingga dedaunan yang semula jauh berserakan, mendekat ketubuhnya. Tampaknya daun yang ringan itu mengikuti gerak angin. Ia taat pada hukum yang meliputinya. Ia melihat bahwa jika daun-daun itu bisa mendekat kepadanya karena patuh kepada angin dengan mengikuti hukum gerak angin tanpa perlawanan maka ia akan terbawa hembusan angin itu dan membawanya mendekat kepada dirinya.

Ia menyimpulkan untuk mengikuti hukum yang diajarkan oleh angin. Jika ingin dekat dengan Tuhan, maka tak ada jalan lain yaitu dengan menaati hukum-hukumNya.

[]

Ahmad Shobirin,

penikmat kopi susu

Selasa, 20 September 2011

Merapikan Kekacauan


Kekacauan itu mengalir dari dunia fisik ke wilayah mental, emosional dan spiritual kita. Nah ketika kita menyingkirkan kekacauan fisik, kekacauan metal, emosional dan spiritual akan ikut bersamanya dan kemudian kehidupan menjadi lancar dan lebih tenang. Sebuah pengertian yang aku dapatkan dari buku yang pernah aku baca di perpus keliling taman bungkul Surabaya.

Alhamdulillah ya. Sudah menumpuk rak buku. Dan merapikan bukunya agar lebih praktis. Sudah sholat isya. Bikin teh manis. Cuci-cuci piring dan gelas kotor juga sudah. Kamar kalau nampak bersih seperti ini menjadi nampak indah. Kemudian merasa nyaman, dan belajar menjadi menyenangkan. Tidak kacau. Teratur.

Eit, di kamarku belum sepenuhnya rapi. Disalah satu sudut kamar. Belakang pintu. Pakaian kotor masih banyak yang cemerentel. Dari berbagai bentuk dan warna. Perlu penanganan yang lebih serius.

Begitulah. Kita harus mencoba belajar membiasakan melakukan hal-hal yang kecil dan sering kita anggap sepele. Merapikan sprei, meletakkan baju di cantolan, mengembalikan buku yang kita baca dari tempatnya, dan lain sebagainya.


Bijaksana Dari Hal yang Kecil

Jadi ingat cerita di sebuah buku. Ada seorang murid yang ingin belajar kebijaksanaan dari seorang guru. Si murid bermalam di pondokan si guru. Pada pagi hari setelah ia selesai sarapan ia segera menemui guru tersebut untuk bersiap meminta pelajaran mengenai kebijaksanaan dari sang guru.

“Guru, sudilah engkau untuk mengajarkanku mengenai kebijaksanaan hidup” ujar sang murid dengan bersemangat.

Kemudian sang guru berkata dengan lembut, “apakah engkau sudah sarapan anakku?”

“Sudah guru, sebelum berangkat ke sini, aku sudah sarapan, dan kini aku sudah siap menerima pelajaran darimu” jawab sang murid dengan penuh semangat.

“Baiklah, cuci piring makanmu..”

***

Begitulah kita, sering terburu-buru untuk mendapatkan sesuatu yang diidam-idamkan, sesuatu yang baru, sesuatu yang besar. Namun seringkali melewati hal-hal yang kecil yang sebenarnya adalah proses pembiasaan untuk mendapatkan sesuatu yang diidam-idamkan itu. Menganggap hal-hal yang kecil sebagai sesuatu yang sepele. Karena tak mesti sesuatu yang kecil itu hal yang sepele. Sehingga kita meremehkannya dan akhirnya tak menyelesaikan sesuatu hal dengan baik. Sungguh bukan kebiasaan yang baik.

Kita jarang menyelesaikan apa yang telah kita kerjakan. Namun bersemangat mengerjakan yang lain. Ketika mengerjakan pekerjaan yang lain, kita kepikiran pekerjaan yang lama, beralih untuk menyelesaikan pekerjaan yang lama, namun ada rasa malas. Berputar-putar tak ada yang selesai. Karena tak dikerjakan dengan serius.

Kebiasaan-kebiasaan buruk perlu kita ubah. Digantikan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Perlahan. Namun dengan istikamah, rutin, disiplin. Rangkaian hidup kita adalah rangkaian kebiasaan yang telah tertanam dalam diri kita. Dan seringkali tak kita sadari bahwa kita memiliki kebiasaan itu.

Kita tak dapat melempar keluar jendela begitu saja kebiasaan kita. Karena kebiasaan adalah kebiasaan. Ia hanya bisa dibujuk untuk turun melalui tangga selangkah demi selangkah. Begitulah Mark Twain mengibaratkan perihal merubah kebiasaan.Mark Twain juga seorang perokok, namun suatu ketika ia berbicara. “Berhenti merokok adalah hal termudah yang pernah aku lakukan. Aku mengetahui hal ini, karena aku telah melakukannya seribu kali”.

Nabi juga mengajarkan bahwa amal atau perbuatan baik yang dilakukan secara istikamah itu lebih baik meski sedikit. Daripada perbuatan baik yang tak dilakukan dengan keistikamahan meski hal itu besar.

Lebih jau dari itu, jika kita bisa membereskan kekacauan yang kecil, niscaya kita nanti akan bisa membereskan kekacauan yang lebih besar. Dan itu perlu pembiasaan. Seandainya kita melihat para pemimpin kita, wakil-wakil kita di DPR apakah mereka juga telah membiasakan hal-hal kecil yang baik, seperti merapikan kamarnya sendiri? Tak tahu. kan ada pembantu. Kalau ada pembantu kenapa dikerjaian sendiri. Kalau bisa dikerjain sendiri kenapa pake pembantu. ah mbulet.

Membiasakan kebiasaan yang baik, untuk benar-benar menjadi baik. Belajar merapikan kekacauan dari hal yang kecil. Agar terbiasa. Baiklah kalau begitu sekian saja.

/Ahmad Shobirin Obiyoso

Kamis, 08 September 2011

Gara-Gara Sepatu Warrior


Alhamdulillah perut kenyang, ini habis makan tahu teknya cak Kur. Orang Lamongan yang berjualan tahu tek sekaligus warkop di gedangan sini. Tepatnya di sebrang jalan Telkom Gedangan Sidoarjo. Sempat mau kehabisan tadi, aku yang pesan terakhir ternyata dibuatin lebih awal. Ada orang yang sudah pesan tahu tek duluan, ternyata cak Kur ndak merasa. Sehingga orangnya agak protes. Untung masih tersisa satu porsi lagi tahu teknya. Makan malem kali ini habis biaya enam ribu rupiah. Rinciannya, empat ribu untuk tahu tek, seribu untuk es marimas, seribu untuk gorengan penutup makan malam. Uangku kini masih tersisa empat puluh empat ribu rupiah, bukan dolar.

Warrior; sepatu untuk sahabat

Sebelum berangkat makan malem tadi aku membaca novel teenlit karya Arie Saptaji, berjudul warrior; sepatu untuk sahabat.

Ceritanya klassik, tentang seorang gadis smp yang akan mengikuti lomba gerakjalan dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda. Mewakili sekolahnya dalam gerak jalan tingkat kabupaten. Dia anak seorang bakul lopis. Tak punya biaya yang cukup untuk membeli sepatu warrior seragam gerakjalannya.

Aku juga sempat nangis saat menbaca novel ini, maklum aku lelaki melankolins. Saat si gadis itu punya masalah dengan uang celengannya yang mulanya ingin ia gunakan untuk membeli sepatu tanpa merepotkan mboknya dari hasil ia bantu-bantu ibu temannya yang suka bikin kue. Ternyata saat mau membeli sepatu, adiknya (bukan adik sebenarnya) ternyata harus operasi usus buntu, maka ia rela menyerahkan uang yang telah ditabungnya kepada ibu si anak yang sudah dianggap adiknya sendiri itu.

Yah begitulah ceritanya. Ringan. Memang novel teenlit ditujukan untuk para remaja usia belasan. Dengan bahasa yang mudah. Namun ada pesan-pesan yang juga menarik menurutku. Di sana diceritakan ketegaran seorang ibu yang mengasuh anaknya dengan berjualan lopis dan bekerja serabutan. Ditinggal mati suaminya. Si ibu pandai untuk mendongeng setiap kali si putri hendak tidur. Dengan dongeng itu si ibu memberikan pesan-pesan moral kepada putrinya tersebut.

Keyakinan Bima

Ada juga tentang kisah pewayangan yang dimasukkan kedalam novel ini. Namun hal itu sebagai tambahan saja, ketika ayah teman si gadis itu adalah seorang penulis. Menceritakan tentang keteguhan Bima dalam mematuhi gurunya yaitu batara Durna. Bima sedang disuruh mencari yang namanya air suci. Meski si guru tersebut hanyalah mengelabui bima. Namun Bima sadalah seorang murid yang baik dan sangat baik. Mematuhi apa yang dikatakan oleh gurunya. Dia yakin dengan keyakinananya. Sehingga apa yang dia cari diketemukan. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam hatinya. Sehingga ia benar-benar mendapatkannya. Meski si guru tersebut menyangka bahwa ia tidak akan sanggup menemukannya.

Aku berfikir, di dalam cerita bima tersebut mempunyai pesan yang sangat mendalam, bahwa jika percaya bahwa sesuatu itu ada, maka ia benar-benar ada, dan dia akan diketemukan.

[]

Arie Saptaji menulis novel itu menghabiskan waktu sekitar tiga bulan, seperti tertera pada peragraf terakhir kalimat terakhir yang ditulis memojok.

Ternyata novel juga bisa menggugah seseorang untuk bisa menjadi lebih baik. Seperti novel ini. pesan-pesan kemanusiaan disusupkan dengan halus. Selama ini pandanganku novel hanyalah bualan belaka. Sehingga aku malas membacanya. sekarang jadi pengen buat novel. hehe.

Ini novel pertama yang aku baca langsung habis dengan waktu yang sangat singkat.

Aku menemukannya saat aku berada di perpus sekolah SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, tempatku mengajar. Sebenarnya sudah berkali-kali aku melihat novel ini. Sampul yang berwarna kuning. Aku enggan membacanya. Hanya melirik saja. Entah kenapa tadi aku kok membaca novel ini. mungkin karena saat itu sepatu pantofelku rusak. Jadi nyambung dengan kondisiku. hahay. Andai saja ngajar boleh pakai sepatu warrior. Pasti nyaman, bisa ikut lari-lari sama-anak-anak didikku di sekolah ini. anak-anak memang pelari handal.

Saat aku membacanya, ada ketertarikan untuk melanjutkannya sampai habis. Dan benar saja. Habis, kuikuti seluruh ceritanya. Meskipun ada beberapa bagian yang bagiku kurang menarik. Tapi mungkin memang begitu, seorang penulis kadangkala merasa mentok untuk selalau bisa membangkitkan semangat, sehingga mereka hanya ingin memanjangkan kata dan cerita, namun tidak bisa membuat pembaca tertarik dalam menyimaknya.

[]

Senyumlah Sayang

Ada bait syair yang menarik di buku ini,

Yen ora bisa kanda, mesema

Yen ora pati cetha, mesema

Snajan atimu rada gela, mesema,

Ngras kena kanggo tamba

Mesema, mesema.

Kata-kata yang pernah kutemukan di sebuah artikel Jawapos atau Kompas gitu, lupa. sudah lama. Yang saat itu kucatat dan kugunakan untuk merayu kekasihku yang sedang bersedih. Ampuh. Ternyata sekarang di buku ini aku menemukannya. Ternyata ini adalah sebuah lagu. Mungkin besok akan aku cari musiknya di internet barangkali ada. Itung-itung untuk kembali mengenali kebudayaan jawa.

[]

Dan akhirnya, kita tahu bahwa menceritakan mengenai rasa tak se mbois menikmati rasa itu sendiri. Karena itu silakan membaca sendiri novel ini. Untuk benar-benar merasakannya. hihi.

[]

Ahmad Shobirin. Rabu, 19 Mei 2010, 21:10 malam. Di kos-kosan, jalan teratai no 24.