Salam

Terimakasih atas kesediaanya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini. Semoga memberi manfaat. Keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan semoga senantiasa melingkupi kita semua. Mari menikmati hidup ini...

Kamis, 29 September 2011

Ia bertanya pada angin, tentang Tuhan

Dikisahkan,

Meski hidup dikehidupan moderen, bukan lagi dikehidupan pewayangan, atau seperti satria-satria yang berada di hutan, Abyasa seringkali membayangkan bahwa ia sedang berada di hutan belantara yang begitu menyeramkan. Ya perkotaan memang layaknya hutan belantara yang seringkali ada binatang binatang buas. Bedanya kalau di hutan beneran binatang buasnya adalah juga binatang beneran. Kalau di kota binatang buasnya adalah manusia itu sendiri. binatang jadi-jadian.

Maka di tengah kesibukannya mengejar dunia, ia juga menginginkan suatu hal yang sejati. Maka, ia mencarinya di manapun, dan ia punya keyakinan bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang sejati itu tidak sulit, hanya saja perlu adanya upaya yang terus menerus, butuh ketekunan yang kuat. Karena untuk memperoleh hal yang sejati tak bisa main-main. Memang benar kesejatian itu tak akan hilang. Seharusnya ia tak usah dicari karena ia selalu ada. Maka sebenarnya yang harus dicari adalah kesejatian dirinya sendiri. Kemurnian hatinya sendiri untuk bisa mengetahui yang sejati itu.

Ia bertanya pada angin, bagaimanakah cara untuk mendekati Tuhan? maka angin memberikan jawaban dengan hembusan yang kencang, sehingga dedaunan yang semula jauh berserakan, mendekat ketubuhnya. Tampaknya daun yang ringan itu mengikuti gerak angin. Ia taat pada hukum yang meliputinya. Ia melihat bahwa jika daun-daun itu bisa mendekat kepadanya karena patuh kepada angin dengan mengikuti hukum gerak angin tanpa perlawanan maka ia akan terbawa hembusan angin itu dan membawanya mendekat kepada dirinya.

Ia menyimpulkan untuk mengikuti hukum yang diajarkan oleh angin. Jika ingin dekat dengan Tuhan, maka tak ada jalan lain yaitu dengan menaati hukum-hukumNya.

[]

Ahmad Shobirin,

penikmat kopi susu

Selasa, 20 September 2011

Merapikan Kekacauan


Kekacauan itu mengalir dari dunia fisik ke wilayah mental, emosional dan spiritual kita. Nah ketika kita menyingkirkan kekacauan fisik, kekacauan metal, emosional dan spiritual akan ikut bersamanya dan kemudian kehidupan menjadi lancar dan lebih tenang. Sebuah pengertian yang aku dapatkan dari buku yang pernah aku baca di perpus keliling taman bungkul Surabaya.

Alhamdulillah ya. Sudah menumpuk rak buku. Dan merapikan bukunya agar lebih praktis. Sudah sholat isya. Bikin teh manis. Cuci-cuci piring dan gelas kotor juga sudah. Kamar kalau nampak bersih seperti ini menjadi nampak indah. Kemudian merasa nyaman, dan belajar menjadi menyenangkan. Tidak kacau. Teratur.

Eit, di kamarku belum sepenuhnya rapi. Disalah satu sudut kamar. Belakang pintu. Pakaian kotor masih banyak yang cemerentel. Dari berbagai bentuk dan warna. Perlu penanganan yang lebih serius.

Begitulah. Kita harus mencoba belajar membiasakan melakukan hal-hal yang kecil dan sering kita anggap sepele. Merapikan sprei, meletakkan baju di cantolan, mengembalikan buku yang kita baca dari tempatnya, dan lain sebagainya.


Bijaksana Dari Hal yang Kecil

Jadi ingat cerita di sebuah buku. Ada seorang murid yang ingin belajar kebijaksanaan dari seorang guru. Si murid bermalam di pondokan si guru. Pada pagi hari setelah ia selesai sarapan ia segera menemui guru tersebut untuk bersiap meminta pelajaran mengenai kebijaksanaan dari sang guru.

“Guru, sudilah engkau untuk mengajarkanku mengenai kebijaksanaan hidup” ujar sang murid dengan bersemangat.

Kemudian sang guru berkata dengan lembut, “apakah engkau sudah sarapan anakku?”

“Sudah guru, sebelum berangkat ke sini, aku sudah sarapan, dan kini aku sudah siap menerima pelajaran darimu” jawab sang murid dengan penuh semangat.

“Baiklah, cuci piring makanmu..”

***

Begitulah kita, sering terburu-buru untuk mendapatkan sesuatu yang diidam-idamkan, sesuatu yang baru, sesuatu yang besar. Namun seringkali melewati hal-hal yang kecil yang sebenarnya adalah proses pembiasaan untuk mendapatkan sesuatu yang diidam-idamkan itu. Menganggap hal-hal yang kecil sebagai sesuatu yang sepele. Karena tak mesti sesuatu yang kecil itu hal yang sepele. Sehingga kita meremehkannya dan akhirnya tak menyelesaikan sesuatu hal dengan baik. Sungguh bukan kebiasaan yang baik.

Kita jarang menyelesaikan apa yang telah kita kerjakan. Namun bersemangat mengerjakan yang lain. Ketika mengerjakan pekerjaan yang lain, kita kepikiran pekerjaan yang lama, beralih untuk menyelesaikan pekerjaan yang lama, namun ada rasa malas. Berputar-putar tak ada yang selesai. Karena tak dikerjakan dengan serius.

Kebiasaan-kebiasaan buruk perlu kita ubah. Digantikan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Perlahan. Namun dengan istikamah, rutin, disiplin. Rangkaian hidup kita adalah rangkaian kebiasaan yang telah tertanam dalam diri kita. Dan seringkali tak kita sadari bahwa kita memiliki kebiasaan itu.

Kita tak dapat melempar keluar jendela begitu saja kebiasaan kita. Karena kebiasaan adalah kebiasaan. Ia hanya bisa dibujuk untuk turun melalui tangga selangkah demi selangkah. Begitulah Mark Twain mengibaratkan perihal merubah kebiasaan.Mark Twain juga seorang perokok, namun suatu ketika ia berbicara. “Berhenti merokok adalah hal termudah yang pernah aku lakukan. Aku mengetahui hal ini, karena aku telah melakukannya seribu kali”.

Nabi juga mengajarkan bahwa amal atau perbuatan baik yang dilakukan secara istikamah itu lebih baik meski sedikit. Daripada perbuatan baik yang tak dilakukan dengan keistikamahan meski hal itu besar.

Lebih jau dari itu, jika kita bisa membereskan kekacauan yang kecil, niscaya kita nanti akan bisa membereskan kekacauan yang lebih besar. Dan itu perlu pembiasaan. Seandainya kita melihat para pemimpin kita, wakil-wakil kita di DPR apakah mereka juga telah membiasakan hal-hal kecil yang baik, seperti merapikan kamarnya sendiri? Tak tahu. kan ada pembantu. Kalau ada pembantu kenapa dikerjaian sendiri. Kalau bisa dikerjain sendiri kenapa pake pembantu. ah mbulet.

Membiasakan kebiasaan yang baik, untuk benar-benar menjadi baik. Belajar merapikan kekacauan dari hal yang kecil. Agar terbiasa. Baiklah kalau begitu sekian saja.

/Ahmad Shobirin Obiyoso

Kamis, 08 September 2011

Gara-Gara Sepatu Warrior


Alhamdulillah perut kenyang, ini habis makan tahu teknya cak Kur. Orang Lamongan yang berjualan tahu tek sekaligus warkop di gedangan sini. Tepatnya di sebrang jalan Telkom Gedangan Sidoarjo. Sempat mau kehabisan tadi, aku yang pesan terakhir ternyata dibuatin lebih awal. Ada orang yang sudah pesan tahu tek duluan, ternyata cak Kur ndak merasa. Sehingga orangnya agak protes. Untung masih tersisa satu porsi lagi tahu teknya. Makan malem kali ini habis biaya enam ribu rupiah. Rinciannya, empat ribu untuk tahu tek, seribu untuk es marimas, seribu untuk gorengan penutup makan malam. Uangku kini masih tersisa empat puluh empat ribu rupiah, bukan dolar.

Warrior; sepatu untuk sahabat

Sebelum berangkat makan malem tadi aku membaca novel teenlit karya Arie Saptaji, berjudul warrior; sepatu untuk sahabat.

Ceritanya klassik, tentang seorang gadis smp yang akan mengikuti lomba gerakjalan dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda. Mewakili sekolahnya dalam gerak jalan tingkat kabupaten. Dia anak seorang bakul lopis. Tak punya biaya yang cukup untuk membeli sepatu warrior seragam gerakjalannya.

Aku juga sempat nangis saat menbaca novel ini, maklum aku lelaki melankolins. Saat si gadis itu punya masalah dengan uang celengannya yang mulanya ingin ia gunakan untuk membeli sepatu tanpa merepotkan mboknya dari hasil ia bantu-bantu ibu temannya yang suka bikin kue. Ternyata saat mau membeli sepatu, adiknya (bukan adik sebenarnya) ternyata harus operasi usus buntu, maka ia rela menyerahkan uang yang telah ditabungnya kepada ibu si anak yang sudah dianggap adiknya sendiri itu.

Yah begitulah ceritanya. Ringan. Memang novel teenlit ditujukan untuk para remaja usia belasan. Dengan bahasa yang mudah. Namun ada pesan-pesan yang juga menarik menurutku. Di sana diceritakan ketegaran seorang ibu yang mengasuh anaknya dengan berjualan lopis dan bekerja serabutan. Ditinggal mati suaminya. Si ibu pandai untuk mendongeng setiap kali si putri hendak tidur. Dengan dongeng itu si ibu memberikan pesan-pesan moral kepada putrinya tersebut.

Keyakinan Bima

Ada juga tentang kisah pewayangan yang dimasukkan kedalam novel ini. Namun hal itu sebagai tambahan saja, ketika ayah teman si gadis itu adalah seorang penulis. Menceritakan tentang keteguhan Bima dalam mematuhi gurunya yaitu batara Durna. Bima sedang disuruh mencari yang namanya air suci. Meski si guru tersebut hanyalah mengelabui bima. Namun Bima sadalah seorang murid yang baik dan sangat baik. Mematuhi apa yang dikatakan oleh gurunya. Dia yakin dengan keyakinananya. Sehingga apa yang dia cari diketemukan. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam hatinya. Sehingga ia benar-benar mendapatkannya. Meski si guru tersebut menyangka bahwa ia tidak akan sanggup menemukannya.

Aku berfikir, di dalam cerita bima tersebut mempunyai pesan yang sangat mendalam, bahwa jika percaya bahwa sesuatu itu ada, maka ia benar-benar ada, dan dia akan diketemukan.

[]

Arie Saptaji menulis novel itu menghabiskan waktu sekitar tiga bulan, seperti tertera pada peragraf terakhir kalimat terakhir yang ditulis memojok.

Ternyata novel juga bisa menggugah seseorang untuk bisa menjadi lebih baik. Seperti novel ini. pesan-pesan kemanusiaan disusupkan dengan halus. Selama ini pandanganku novel hanyalah bualan belaka. Sehingga aku malas membacanya. sekarang jadi pengen buat novel. hehe.

Ini novel pertama yang aku baca langsung habis dengan waktu yang sangat singkat.

Aku menemukannya saat aku berada di perpus sekolah SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, tempatku mengajar. Sebenarnya sudah berkali-kali aku melihat novel ini. Sampul yang berwarna kuning. Aku enggan membacanya. Hanya melirik saja. Entah kenapa tadi aku kok membaca novel ini. mungkin karena saat itu sepatu pantofelku rusak. Jadi nyambung dengan kondisiku. hahay. Andai saja ngajar boleh pakai sepatu warrior. Pasti nyaman, bisa ikut lari-lari sama-anak-anak didikku di sekolah ini. anak-anak memang pelari handal.

Saat aku membacanya, ada ketertarikan untuk melanjutkannya sampai habis. Dan benar saja. Habis, kuikuti seluruh ceritanya. Meskipun ada beberapa bagian yang bagiku kurang menarik. Tapi mungkin memang begitu, seorang penulis kadangkala merasa mentok untuk selalau bisa membangkitkan semangat, sehingga mereka hanya ingin memanjangkan kata dan cerita, namun tidak bisa membuat pembaca tertarik dalam menyimaknya.

[]

Senyumlah Sayang

Ada bait syair yang menarik di buku ini,

Yen ora bisa kanda, mesema

Yen ora pati cetha, mesema

Snajan atimu rada gela, mesema,

Ngras kena kanggo tamba

Mesema, mesema.

Kata-kata yang pernah kutemukan di sebuah artikel Jawapos atau Kompas gitu, lupa. sudah lama. Yang saat itu kucatat dan kugunakan untuk merayu kekasihku yang sedang bersedih. Ampuh. Ternyata sekarang di buku ini aku menemukannya. Ternyata ini adalah sebuah lagu. Mungkin besok akan aku cari musiknya di internet barangkali ada. Itung-itung untuk kembali mengenali kebudayaan jawa.

[]

Dan akhirnya, kita tahu bahwa menceritakan mengenai rasa tak se mbois menikmati rasa itu sendiri. Karena itu silakan membaca sendiri novel ini. Untuk benar-benar merasakannya. hihi.

[]

Ahmad Shobirin. Rabu, 19 Mei 2010, 21:10 malam. Di kos-kosan, jalan teratai no 24.

Rabu, 07 September 2011

Ke(kurang)sabaran


Jarang baca Qur'an, kangen. syukur diberi rasa kangen oleh Allah. Kemudian ngaji al Quran sebentar. Tepatnya membaca alQuran barang beberapa ayat, lalu kubaca artinya. Berisi tentang ayat-ayat yang menceritkan tentang nabi-nabi. Nabi syuaib yang menyeru umatnya untuk menyembah Allah Swt. dan berbuat adil terhadap takaran timbangan serta hak-hak orang lain. Namun, nabi syuaib diabaikan karena ia adalah orang yang lemah diantara mereka, nabi syuaib juga tak punya wibawa dihadapan mereka. Mereka hanya memandang nabi syuaib dari keluarganya saja. Karena mungkin silsilahnya dari keluarga yang mempunyai pengaruh atau mempunyai wibawa.

Menjadi orang yang lemah maka nabi Syuaib diremehkan. Karena mereka tidak menyambut seruan nabi syuaib, maka Allah Swt. mendatangkan azab yang berupa suara yang sangat keras. Sehingga semua orang mati kecuali orang-orang yang beriman.

Kemudian ayat itu berlanjut,

Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." (Qs 11:115)

Kita seringkali sebagai manusia tidak sabar atas kebaikan-kebaikan yang kita lakukan. Kita menganggap apa yang kita usahakan tidaklah membuahkan hasil. Sering kali kita menolong orang dengan keinginan bahwa suatu saat nanti kita mendapatkan keuntungan, namun apa yang kita nanti-nantikan itu ternyata tidaklah mendapatkan balasan. Sehingga kita merasa bahwa apa yang kita upayakan tersebut sia-sia, percuma. Kita tidak ikhlas dalam melakukan kebaikan-kebaikan. Kita tidak mematok tujuan yang lebih tinggi. Tujuan-tujuaan kita hanya dunia, keuntungan-keuntungan ekonomi, keuntungan-keuntungan yang hanya untuk memuaskan nafsu kita sendiri.

Akhir-akhir ini, mungkin kita telah terkena gejala kurang sabar. Tidak sabar itu berarti tergesa-gesa. Ingin semuanya cepat. Cepat kaya, sehingga menafikan usaha-usaha yang halal dan mengambil jalan-jalan yang haram, atau subhat yakni cara yang tidak jelas halal haramnya. Kita korupsi, nepotisme, kolusi, itu merupakan gejala-gejala tidak adanya kesabaran hati kita.

Dalam pendidikan pun seperti itu. Seringkali kita ingin mendapatkan selembar ijasah dengan cara-cara yang tidak patut. Kita melakukakan penelitian-penelitian yang fiktif, untuk mendapatkan dana yang banyak.

Korupsi itu adalah cerminan bagi diri kita bahwa kita tidak percaya diri, kita tidak percaya bahwa diri kita mampu untuk berbuat yang lebih hebat. Sehingga kita mengambil cara-cara yang tidak sehat. Cerminan bahwa kita kurang sabar dalam bertindak.


Kalau orang jawa mempunyai salah satu kearifan yang berkenaan dengan kesabaran, yaitu dalam ungkapan ojo nggege mongso. Jangan mendahului waktu. Dalam etika filsafat jawa ungkapan itu mempunyai makna yang lebih dalam. Pemaknaan ini berkaitan dengan sikap hidup dan berkaitan jatidiri manusia sebagai individu, sosial dan umat ciptaan Tuhan. Mungkin sebentuk kemalasan. Namun malas untuk melakukan sesuatu hal yang buruk.

[]

kamar kos/catatan sehabis maghrib, di hari Sabtu, 20 Maret 2010

ahmad shobirin

Selasa, 06 September 2011

Plonga-Plongo

Mbah kopler datang. Padahal ia tak kuharapkan datang. Mau apalagi dia. Tapi seperti seorang santri yang baik, aku harus takzim kepadanya. Mencium tangannya, mempersilahkan ia masuk ke dalam kamar kosku. Ia tersenyum saja. Dengan wajahnya yang terlihat pongah. Ia senyum dengan kedua bibir yang disabitkan kebawah. Benar-benar senyum yang sombong. Tapi aku tak mau mengartikannya begitu. Ia adalah aktor yang pandai bermain peran. sedih ia sulap menjadi senang, senang ia sulap menjadi biasa saja. Suasana biasa saja ia sulap menjadi kesedihan. pokoknya, seringkali aku salah menebak.

Aku sudah ngantuk. Namun aku simpan rapat-rapat. Tidak mungkin ia ndak tahu aku sedang ngantuk. Ia pasti tahu. Biarlah aku jujur saja. Aku katakan, “mbah wonten nopo kok dangu, moto kulo rodo’ ngelu. Pengen tilem”.

“yo turuo,” jawabnya singkat.

“Lha sampeyan mertamu, aku yo mboten penak nek tilem”

“yo ojo turu nek ngono. Ngunu ae kok repot”

Orang ini ndak tahu maksudku. Maksudku, pulang saja. Besok pagi saja kita ngobrol. Membicarakan hal-hal yang memang harus aku ketahui. tapi jangan sekarang aku mau tidur.

Pet. Aku baru tersadar ketika pagi, pukul setengah enam pagi. Pintu kamarku terbuka separuh. Persis seperti malam tadi. Lampu kamar masih menyala. Biasanya aku tidur dengan kumatikan lampu. Ku ingat-ingat, mungkin saja kutemui mbah kopler dalam mimpi. Ndak. Ternyata ndak ada sedikitpun rekam jejak dalam mimpi tidurku. Aku bahkan tak mimpi sekalipun.

Aku kelap kelop. Tilang tileng. Plonga plongo. Tela telo. Ndolap dlolop. Sakti nemen. Kualat aku. Ngusir mbah kopler tadi malam. Masih tak kumengerti maksudnya. Sampai aku menulis hal ini.

Astagfirullah hal adzim, subhanAllah, alhamdulillahilladzi ahyana ba’dama ama tana wailaihinnusur...

mau mandi, aku kaget melihat motor. kuncinya masih nempel. laptop, dompet kleleran. ndak ada yang hilang.

sehabis mandi, tetangga ribut. motornya hilang.

aku masih plonga-plongo.