Salam

Terimakasih atas kesediaanya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini. Semoga memberi manfaat. Keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan semoga senantiasa melingkupi kita semua. Mari menikmati hidup ini...

Sabtu, 31 Desember 2011

Bosan

Semenjak sore dilanda kebosanan. Bosan tidur, bangun, makan, tidur lagi. Ingin melakukan hal lain bisa menenangkan dan menyenangkan hati. Jika hati ini tak tenang, akan merembet kepada yang lainnya. Aku ndak mau itu terjadi. Maka harus aku cari solusinya. Aku pamit istri untuk keluar sebentar, entah ngopi atau yang lainnya. Aku masih bingung mau ke mana. 

Sampai juga ke Togamas jalan Diponegoro. Sebuah toko buku yang ada di surabaya. Melihat judul-judul buku. tak ada yang menarik. Tak ada yang pas untuk dibeli.

Saat di toko buku, aku meneliti judul-judul buku. Namun yang lebih aku teliti adalah hati ini. Mengapa kok merasa gelisah? Galau, kata anak muda. Berarti ada yang tidak beres. Berharap menemukan buku yang bisa menentramkan. Sekitar satu jam, tak jua ketemu.

Hampir aku mau pulang, aku menemukan kutipan kalimat disampul buku bagian belakang. kurang lebih seperti ini, “Jika kehidupan selalu dipenuhi hiruk pikuk, maka mendapatkan kesendirian merupakan hal yang sangat berharga yang kita miliki.” Aku baca lagi beberapa kali. Kemudian terpikir tentang “kesendirian”. Em, mungkin itu yang harus kulakukan.

Tak lama adzan maghrib berkumandang. Dari mesjid sebrang. Aku merasa saat inilah untuk menyendirikan diri dari hiruk-pikuk. Mendirikan solat, menentramkan hati. Beristirah. Konon Rasul selalu sholat jika beliau ingin istirahat. Istirahatnya adalah dengan sholat. Sebelum beranjak dari toko buku Aku ambil buku tipis “Mukjizat Sholat” yang berisi tentang hadist-hadist pilihan Riyadus Shalihin karangan Imam Nawawi. Kuambil dari meja buku obralan seharga lima ribu rupiah. Dari pada keluar toko buku dengan tangan kosong. Aku membayarnya di kasir. Sambil meminta tolong untuk mengecek uang limapuluh ribu yang aku anggap palsu. Tenyata asli.  Ternyata itu uang baru.

Selepas membayar parkir seribu rupiah, kemudian mencari Musholla atau masjid dengan motor. Agak lama. Berhenti di jalan Karah Surabaya. Langit mulai memadam. Temaram lampu mulai terlihat kontras dengan warna langit. Aku mendengar bacaan kalimat tayyibah dari corong masjid. Nampaknya bacaan tahlil. Malam ini malam jumat. Orang orang akan kirim doa kepada yang telah meninggal.

Berhenti di masjid “Syukron Maghfuro” yang artinya bersyukur atas ampunan Tuhan. Aku masih mendengar imam sholat memimpin tahlil. Tahlilnya masih separuh jalan nampaknya. Kuambil air wudhu. Di dalam kulihat hanya ada satu jamaah di belakangnya sang imam. Sama-sama sepuh berbaju batik berkopyah hitam agak menceng tak simetris. Juga ada beberapa orang musafir yang sholat kemudian pergi.

Mencoba sholat dengan khusuk. Menikmati gerakannya, memahami maksud yang terkandung dalam bacaannya. Sejurus kemudian hati menjadi tenang. Benar apa yang telah disabdakan, bahwa hanya dengan mengingat Alloh hati menjadi tenang. Kegelisahan akan berlalu. Semua tidak tetap.

Setelah sholat magrib aku tunaikan, aku membuka tas, membuka buku yang baru aku beli. Kudapati halaman yang mebicarakan mengenai sholat sunnah setelah Maghrib. Kubaca, kemudian kususul melaksanakan sholat sunnah. Menjadi lebih tenang.

Imam dan makmum di masjid itu belum selesai melantunkan kalimat-kalimat thayyibah. Hampir akhir. Aku beranjak dari masjid itu.  

Kustarter motor, bermaksud cari warung kopi. Namun aku wurungkan karena melihat warung internet. Mampir sebentar untuk mengecek fesbuk. Ada yang menandai aku mengenai catatannya. Mas Iqbal Dawami dan mas Ahmad Junaidi. Dua-duanya bercerita mengenai seseorang yang sregep sholat. Istiqamah dalam manjalankan shalat. Wak Dullah dan Cak Gimun. Aku belajar darinya. Pas sekali. Wak Dullah mengingatkanku pada kakek yang juga istiqamah dalam sholatnya. Dan anak-anaknya telah menjadi “orang” semua. Cak gimun mengingatkanku pada bapak yang juga gemar mengumandangkan azan di langgar sebelah rumah. Setelah hampir satu jam menjelajah fesbuk. Aku berniat pulang.

Pulang. Perut lapar. Tadi Istri berpesan untuk makan saja di rumah. Karena ia sedang memasak saat aku tinggal tadi. Aku belikan camilan kesukaannya. Kerang rebus di dekat rel ketintang. Ndak tahu itu termasuk camilan atau tidak.

Setibanya di rumah kami makan bersama dengan masakan yang telah disediakan istriku, setelah itu dilanjutkan dengan sesep-sesep bersama. Nyesep gurihnya kuah kerang. Dan mengunyah dagingnya yang kaya dengan protein. Cocok untuk “manten anyar”. Apalagi malam ini malam jumat.

Hilanglah sudah rasa bosan dan gelisah yang mendera diriku sedari sore tadi.

Alhamdulillah..

[]
Ahmad Shobirin/Kamis,29 desember 2011/21:34

Rabu, 21 Desember 2011

Bagaimana Kau Menjadi Guru?

Mumpung mau liburan sekolah (sekarang sedang bagi rapor) ada baiknya untuk menyegarkan kembali pikiran serta perlu untuk bercermin diri, tentang apa yang telah aku lakukan sebagai guru satu semester ini. Juga mengisi pikiran dengan pemahaman-pemahaman baru atau dengan pemahaman-pemahaman lama yang telah telah tertindih dengan rutinitas tanpa pemaknaan.

Sembari ngopi, buku karangan Eko Prasetyo, “Mendidik itu Melawan” sepertinya enak untuk dinikmati juga.

Ada kata-kata hikmah yang menarik dari buku Eko Prasetyo yang dikutipnya dari (The Tso Chuan. Abad ke-5 SM) ia menuliskan, “Orang yang sangat mulia adalah orang yang mempelopori suatu gerakan moral yang berguna bagi generasinya dan juga generasi berikutnya; selanjutnya adalah orang yang memberikan jasa besar bagi masyarakat pada umumnya; dan selanjutnya orang yang kata-katanya memberikan pencerahan-pencerahan dan inspirasi bagi orang lain. Inilah tiga pencapaian yang tidak pernah mati dalam kehidupan.”

Aku pikir, guru adalah ketiga orang yang disebut oleh Tso Chuan di atas. Ia mengajarkan moral yang baik yang pasti akan berguna bagi kehidupan generasi berikutnya, juga ia telah berjasa atas apa yang telah dilakukannya kepada masyarakat dengan ketulusan serta mampu memberikan pencerahan dan inspirasi bagi orang lain.

Eko Prasetyo mengatakan bahwa, dalam melihat pendidikan, Aristoteles dan Tan Malaka mepunyai pandangan yang sama. Keduanya percaya bahwa tugas guru adalah melayani dan menemani murid dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan dasar. Sekolah bukan tempat menumpahi murid dengan tumpukan informasi tetapi melatih kematangan berpikir serta kedewasaan sikap. 

Nampaknya aku belum melakukan hal itu semua.

[]

Ahmad Shobirin/21/12/11