Salam

Terimakasih atas kesediaanya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini. Semoga memberi manfaat. Keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan semoga senantiasa melingkupi kita semua. Mari menikmati hidup ini...

Jumat, 06 Desember 2013

MENGEMBARAKAN BUKU KE SANGGAR BACA


Beberapa hari lalu saya mengirimkan beberapa buku koleksi untuk sanggar baca. Sebab, sebelumnya, sahabat saya sejak kuliah @Syerly Ade memberitahu saya bahwa ia sedang membuat Sanggar Baca Anak Bangsa (SBAB). Ia ingin membuat tempat baca bagi masyarakat di desanya yakni Ds. Kedungsukodani Rt 10/Rw 03 Kec. Balongbendo Kab. Sidoarjo, Jawa Timur. Ia memohon doa restu karena ia akan memulai perjuangan membuat sanggar tersebut. Upaya yang perlu diberikan apresiasi sebab itu menjadi salah satu cara melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Ia saya kenal sebagai sosok yang selalu berjuang. Ia tak mau berhenti dan terus bergerak.

Saya masih ingat, ketika ia pernah mengajak saya untuk menjadi relawan sudut baca Surabaya. Suatu gerakan yang mendukung gerakan masyarakat membaca. Kami bertugas di tempat-tempat umum, seperti terminal dan stasiun. Di mana kami menyediakan rak untuk menyusun buku-buku yang disuplai dari perpustakaan daerah untuk dibaca mereka yang sedang menunggu bis atau kereta. Sekarang saya tidak tahu bagaimana kelanjutan programnya. Itu program bagus, sayang jika ditinggal lalu.

Sekarang, saya lihat di Surabaya, muncul taman bacaan masyarakat (TBM) di kampung-kampung. Tentunya hal itu untuk menggairahkan masyarakat untuk membaca. Masyarakat bergairah adanya hal itu, awalnya. Namun sekarang, buku-buku itu sobek sana-sini, mereka merasa sepi, berdebu dan tak terurus lagi.

Ketika SMA, teman saya di desa yang penggemar buku menggagas pembuatan sanggar baca di Mushollah. Kami ingin anak-anak dan warga  sekitar senang membaca. Para remaja mushollah berkumpul untuk merealisasikan gagasan ini. Kami berhasil mendapatkan banyak buku-buku. Masyarakat membantu untuk membuat rak-raknya. Kami menatanya dengan rapi. Masyarakat senang, anak-anak saling berebut membaca buku. Waktu bergulir, tak ada lagi yang membaca. Buku-buku itu bernasib sama. Kesepian. Hilang.

Apa hal yang sama juga terjadi di perpustakaan umum kota atau daerah?. Mungkin berbeda. Sebab buku-buku itu ada yang merawat. Dan ada anggaran pasti dari pemerintah. Terlepas apakah ramai pengunjungnya atau tidak.   

Apa yang salah dari sanggar baca? Tata kelola, mungkin. Jika tak ada pembaruan atau sirkulasi buku di sanggar baca, maka masyarakat akan bosan. Sebab dengan minimnya koleksi yang dipunyai, saya yakin tak perlu waktu lama bagi masyarakat untuk membacanya. Karena itu saya pikir perlu ada orang-orang yang benar-benar peduli terhadap sanggar baca. Sekedar menggagas tak akan membuat puas, oleh sebab itu perlu mengawas dan jika sudah jadi tidak lantas dilepas. Perlu kontinuitas manajerial dan bekerja dengan ikhlas.

Saya yakin sahabat saya sudah memikirkan hal itu. Rumusan-rumusan apa yang saja yang perlu ia pasti tahu. Ia bukan tipikal orang yang memulai tanpa menyelesaikan. Sahabat saya pasti sudah tahu rumusan ini bahwa “Kekuatan dan kegigihan dalam melangkah lebih diperlukan manakala kita berada di pertengahan perjalanan, bukan hanya di awal. Sehingga, di akhir perjalanan nanti kita kita bisa puas dan tenang.” Ia tahu caranya menyalakan lilin, agar orang-orang tak mengutuk kegelapan. Karena itu, mari membantunya—sanggar baca—untuk mengumpulkan buku-buku.

Mengenai buku-buku dan perpustakaan, aku ingat salah satu renungan Paulo Coelho dalam bukunya “Seperti Sungai yang Mengalir”.

“....saya memutuskan hanya menyimpan empat ratus buku di perpustakaan saya—beberapa karena memiliki nilai kenangan, lain-lainnya karena masih sering saya baca ulang. Saya mengambil keputusan ini karena berbagai alasan, dan salah satunya adalah rasa sedih saya kalau melihat betapa koleksi buku-buku yang dikumpulkan dengan susah payah seumur hidup, sering kali dijual murah begitu saja secara borongan, setelah pemilikya meninggal dunia, tanpa menunjukkan respek sedikitpun pada buku-buku tersebut. Selain itu untuk apa menyimpan buku-buku di rumah? Untuk membuktikan kepada teman-teman saya, betapa berbudayanya saya? Untuk menjadi penghias dinding-dinding? Buku-buku yang saya beli itu akan jauh bermanfaat kalau ditaruh di perpustakaan umum daripada di rumah saya.
Dulu saya suka berkata bahwa saya membutuhkan buku-buku itu, sebab siapa tahu saya butuh informasi di dalamnya. Tetapi sekarang, kalau ingin mencari tahu tentang sesuatu, saya tinggal menyalakan komputer, mengetikkan kata kuncinya, dan semua yang perlu saya ketahui langsung terpampang di layar –berkat internet, perpustakaan terbesar di palnet ini.
Tentu saja saya tetap membeli buku—mereka tidak bisa digantikan oleh versi elektronik apa pun, tetapi begitu saya selesai membacanya, buku itu saya lepaskan; saya berikan kepada seseorang, atau saya sumbangkan keperpustakaan umum. Saya bukan bermaksud menyelamatkan hutan ataupun bermurah hati. Saya sekedar meyakini bahwa sebuah buku mempunyai perjalanannya sendiri, dan tidak seharusnya dikurung dalam rak.
... Marilah kita bebaskan buku-buku itu untuk mengembara, disentuh tangan tangan lain, dan dinikmati mata orang lain.

Saya yakin, pembaca punya beberapa buku yang saya pikir, sudah tak akan dibuka lagi. Karena itu, ada baiknya kita bebaskan mereka untuk mengembara, disentuh oleh tangan yang lain menjelajah pikiran orang lain. Bolehlah sekarang, mari kita alirkan buku-buku itu kepada sanggar-sanggar baca.

Semboyan sahabat saya dalam perjuangan sanggar baca ini adalah, “Apapun yang bisa kita lakukan untuk kebaikan negeri ini mari kita lakukan meski hanya dengan satu buku”

Mari berbagi buku!

[]
*Ahmad Shobirin Obiyoso

Selasa, 12 November 2013

Menziarahi Diri


Catatan hari ini : Selasa, 12 Nopember 2013

Menjaga UAS di kelas 2a. Sembari membaca koran Kompas di rubrik  “Kehidupan” yang hadir tiap minggu. Bagi kebanyakan orang Minggu adalah jeda rutinitas. Saat untuk merenung, koran-koran tidak hanya memuat mengenai berita-berita saja. Tetapi lebih kepada ficer dan tulisan-tulisan yang lebih bersifat ke sastra. Seperti yang saat aku baca hari ini.

Ada judul arikel “Perjalan Menziarahi Diri” tulisan mengenai perjalanan melintasi perbatasan perancis-spanyol menuju Santiago de Compostela. Aku langsung teringat tentang satu novel Paulo Coelho yang berjudul The Pilgrimage: atau Ziarah.

Dalam tulisan itu mereka yang melakukan perjalanan adalah mereka yang  mengikuti panggilan jiwanya. Mereka bisa berbagi kisah-kisah yang menjadi beban kepada mereka yang sama-sama melakukan perjalanan tanpa merasa khawatir dihakimi. Namun yang lebih sering adalah keheningan yang hadir di antara desau angin dan desir air dari sungai-sungai kecil, hal-hal itu lebih melarutkan kepedihan mereka. Perasaan ringan mereka rasakan saat duduk melepaskan lelah di bawah pohon oak tua di hutan. Jiwa kering mereka terasa seperti dibasuh embun yang menyelimuti jalan-jalan setapak.

Dalam tradisi lain, seperti di jawa hal ini juga tak terlalu asing. Mereka menziarahi diri untuk menemukan makna hidup. Kita sering melihat di jalanan ada seseorang yang memakai tongkat dan membawa tas ransel. Atau bahkan tak membawa apapun selain hanya baju di badan. Badan dan pakaiannya lusuh. Mereka tidur dimana ia suka, makan dan minum dari belas kasihan orang. Kita menganggapnya gila, pahadal mungkin mereka sedang menziarahi diri. Ingin mengerti tentang makna-makna kehdupan. Perjalanan terjauh adalah pejalanan ke dalam diri sendiri.   

Ada kata yang menarik dari yang aku baca di artikel ini “Kalau kita mematuhi hukum Semesta, hidup ini akan terasa penuh, tetapi tak pernah sesak”.

Ingin rasanya melakukan penziarahan. Pergi ke suatu tempat. Tetapi bukankah tiap detik adalah penziarahan? Berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Adakah kita telah mengambil makna dari sana?

Rabu, 02 Oktober 2013

Quotes From "Kang Sejo Melihat Tuhan" [1]


Malam tadi, bersama kopi buatan istri, aku membaca lagi buku Mohamad Sobary “Kang Sejo Melihat Tuhan”. Ada beberapa kata-kata yang membuat aku tersadar betapa aku harus tetap menyelam dalam diri ini. Memaknai kehidupan agar lebih baik lagi.

Beberapa kalimat yang menarik, aku tulis ulang.

“Kita bisa menang perkara (keduniaan), kita bisa memiliki status hukum yang kuat karena kuitansi di tangan kita memberi bukti-bukti. Meski kuitansi itu bisa palsu. Tetapi dengan sorot mata ilahiah yang mampu menembus rambu-rambu yang paling rapat sekalipun, segalanya telanjang di depan mata-Nya. Kebenaran itu tak bisa dibungkam karena kebenanran itu akan menyatakan dirinya, bila waktunya telah tiba.
Barangkali benar, kita bisa menipu sebagian orang, tapi tak akan bisa kita menipu semua orang. Kita bisa menipu semua orang untuk waktu tertentu, tetapi kita tak bisa menipu mereka buat selamanya. Kebenaran punya hak waktu untuk menyatakan dirinya.”
---
“Kehidupan ini tak sekedar sebagaimana nampaknya. Hakikat harus ditemukan melalui usaha terus menerus untuk menyelam dalam dan terbang tinggi, intens dan total. Puncak perjalanan rohani seperti itu berupa penyerahan rohani secara utuh, dan mutlak kepada zat Ilahi.”
---
“Kehidupan harus tak lagi diwarnai pamrih atau kepentingan apapun selain buat penyerahan diri”
---
“Sejauh orang merambah alam roh yang gaib itu, ia sebenarnya tidak akan sampai kemana-mana. Orang berpetualang jauh hanya untuk sampai pada dirinya sendiri.
Kata ‘mencapai’ itu sebenarnya tidak begitu tepat, karena apa sebenarnya yang bisa kita capai, selain bahwa semua itu semata karena kemurahan Allah? Kita dengan kata lain tidak akan pernah mencapai apa-apa.”
---
“Kita ini bukan siapa-siapa, tak punya apa-apa, dan tak bisa apa-apa. Serupa dengan la khawla wala quata illa billah itu.”
[] 
Ahmad Shobirin/3/Okt/2013

Kamis, 13 Juni 2013

Kaidah Emas Belas Kasih

Kali ini saya telah membaca buku “Compassion” karangan Karen Armstrong. Buku yang telah saya beli beberpa waktu lalu. Tepatnya tanggal 27 april 2013. Kofer bukunya bagus, apalagi isinya. berbicara tentang Kaidah emas berbelas kasih. 

Emm, jika membaca buku ibarat naik pohon mangga, maka Anda saya petikkan beberapa buah saja di blog ini. Selebihnya nanti. hihi. Maklum saya juga kadang emoh untuk baca tulisan panjang-panjang. 


Begini, mungkin sebagian dari pembaca merasa agama itu sebagai bagian dari masalah kekerasan, kebencian yang hadir di muka bumi ini. Nah dengan membaca buku ini, kita disadarkan bahwa sebenarnya agama bukan dipandang sebagai bagian dari masalah, namun sebagai bagian dari solusi. Karena sebenarnya nilai-nilai etik seringkali diperoleh dari inti ajaran-ajaran agama yang ada. Memang sebenarnya kan demikian. 

Dikatakan dalam buku itu, salah satu tugas utama zaman kita ini tak lain adalah membangun sebuah komunitas global yang di dalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati.[1] Semua agama, nampaknya sepakat jika ujian spiritualitas sejati adalah belas kasih kepada sesama yang akan membawa kita berhubngan dengan zat yang transenden yang kita sebut Allah, Brahman, Nirwana, Dao dan lain sebagainya. Mereka merumuskan dengan versinya sendiri mengenai sebuah kaidah emas yakni “jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak Anda inginkan untuk diri Anda sendiri” atau dalam bentuk positifnya yakni”selalu perlakukan orang lain sebagaimana yang Anda inginkan untuk diri Anda sendiri”.[2] Kepada siapa hal itu dilakukan? Semuanya, bahkan yang kita anggap sebagai musuh.

Compassion itu, secara harfiah berarti menanggungkan sesuatu bersama dengan orang lain. Dengan kata lain menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, untuk merasakan penderitaannya seolah-olah itu perasaan kita sendiri, dan secara murah hati masuk ke dalam sudut pandangnya. Dengan demikian kita diminta untuk melihat kedalam hati kita sendiri, menemukan apa yang membuat kita tersakiti dan kemudian menolak dalam keadaan apapun yang menimbulkan rasa sakit pada orang lain. Ia adalah sikap altruisme konsisten dan berprinsip. 

Belas kasih tidak bisa terlepas dari kemanusiaan, karena hal itu adalah sesuatu yang alami bagi manusia. Seruannya untuk menyisihkan ego kita dalam tenggang rasa yang konsisten terhadap orang lain, akan membawa kita ke dimensi keberadaan yang melampaui keberaaan normal kita yang terikat pada diri sendiri. seseorang yang benar benar manusiawi akan konsisten berorientasi kepada orang lain. 

Toh kita tak mau dihancurkan oleh penderitaan kita sendiri dan oleh kesengsaraan yang kita lihat disekitar kita. Kita didak ditakdirkan untuk hidup dalam kesengsaraan, kebencian dan iri hati. Siapapun dari kita bisa menjadi orang bijak. Kita perlu ketenangan batin agar kita terangkat untuk bisa mengatasi ganguan-gangguan kecil dalam dunia egoisme, dan kita bisa berlindung pada saat masa-masa krisis.

Bukankah seseorang yang tidak memihak, adil, tenang, lembut, tenteram, menerima, dan membuka hati benar-benar merupakan tempat perlindungan. Seseorang yang benar-benar berbelas kasih seperti memetik sebuah senar di dalam diri kita yang beresonansi dengan sebagian kerinduan kita terdalam.[3]

Oke, gitu aja dulu ya. Mau ngopi dulu. Eh iya, tambahan dikit, sayang Karen Amstrong (mungkin) belum mengkaji budaya Jawa. Sebab budaya Jawa juga banyak mengandung kearifan-kearifan yang menekankan bagaimana hidup berbelas kasih dan bahagia berdampingan dengan orang lain. Kudu biso ngrumangsani, Nguwongke liyan. Ndak tahu deh.

Enjoy| 
Ahmad Shobirin Obiyoso




[1] Hal 9
[2] Hal 10 
[3] Hal 209

Selasa, 11 Juni 2013

Tentang Keinginan

Beberapa waktu yang lalu tepatnya di Bulan Januari 2013, aku melihat acara “Indonesia Emas” di TVRI. Malam itu, nampaknya hanya acara tersebut yang oke. Stasiun TV yang lain mutar sinetron, atau berita-berita yang tak tahu ujung pangkalnya.  

Ary Ginanjar yang memandu acara tersebut menghadirkan Dik Doank, artis atau seniman yang kini care terhadap dunia pendidikan. Banyak hal yang ia bahas, dan yang paling Aku ingat adalah tentang “keinginan”.
Dik Doank mengatakan, bahwa jika kita benar-benar tak punya keinginan, maka Allah akan meperjalankan keinginan-Nya kepada kita. Maka tangan kita, kaki kita, dan seluruh jiwa raga kita akan melakukan hal-hal yang diinginkan oleh Allah, dan di sanalah ada kedamaian. Karena kita tak terjerat sendiri oleh keinginan kita.
~~~~~
Para guru-guru bijak juga mengatakan demikian. Kita ini hamba, dan Allah adalah Majikan. Ibnu Atha' mengingatkan tentang pentingnya Isqath al Tadbir, yakni mengistirahatkan diri dari turut mengatur dan menginginkan sesuatu untuk keperluan hidup yang kita lakoni. 
Kesungguhanmu mengejar apa yang dijamin untukmu dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu, adalah bukti rabunnya mata hatimu.~ al Hikam
Apakah itu bentuk kepasifan hidup? menurut saya, malah sebaliknya.
[]

11/06/2013/Ahmad Shobirin Obiyoso

Senin, 03 Juni 2013

Setan Berpamitan

~

apa mungkin karena sungkan
kemudian setan berpamitan

sebab di ujung sana terlihat
malaikat yang mendekat

~

3/6/2013/Ahmad Shobirin Obiyoso

Belajar menulis dari Shaid Al Khatir

Pengantar Ibnu Al Jauzi penulis Shaid Al-Khatir menggugah aku, agar gemar menuliskan lintasan-lintasan pikiran. Beliau mengatakan dalam muqaddimah buku ini.  

"Karena pikiran yang berselancar meneliti beberapa hal di hadapannya tak mau menuliskannya, maka iapun pergi sia-sia. Oleh sebab itu, termasuk tindakan yang terpuji adalah mencatat apa-apa yang terlintas di pikiran supaya tak terlupakan sepanjang masa, apalagi nabi Muhammad Saw juga telah bersabda, 'Jagalah ilmu dengan menuliskannya'.
Aku sangat sering memikirkan sesuatu, namun aku tak menuliskannya, lalu ia pun lenyap sia-sia, akupun kemudian bersedih dan menyesali kepergiannya.

Aku sadar bahwa setiap kali membuka pintu berpikir aku selalu mengetahui keajaiban-keajaiban yang tak pernah aku sangka sebelumnya. Ia datang dengan jumlah yang tak terkira, hingga akupun tak boleh meremehkannya begitu saja. Alasan inilah yang membuatku menjadikan buku ini tempat penyimpanan buah renungan."

Bagitulah pengantar buku yang berisi renungan-renungan Ibnu Al Jauzi atas beragam masalah yang terkumpul indah dalam buku klasik ini. 

Pun demikian dengan kita. Bukankah sebenarnya seringkali kita memikirkan banyak hal, atau merenungkan beberapa ide cemerlang. Berdialog dengan diri sendiri atas beragam masalah yang kita hadapi dan seringkali memunculkan hikmah. Kalau saja kita mencatatnya, ide dan juga hikmah itu akan terjaga. Akan tetapi seringkali kita membiarkannya begitu saja. Kemudian suatu saat kita berusaha untuk mengingatnya, namun ingatan tak banyak membantu, karena telah tertutup dengan pikiran-pikiran yang baru. Sayyidina Ali mengibaratkan ilmu itu seperti binatang buruan, jika tak diikat, ia akan terlepas, dan pengikat ilmu adalah tulisan. 

[]

Senin/3/6/2013/
Ahmad Shobirin Obiyoso

Minggu, 14 April 2013

Menggendong, Membuat Cerdas


Hari ini saya dan keluarga jalan-jalan di taman flora surabaya. Sambil membawa si kecil. Suasananya ramai, banyak pengunjung, rata-rata mereka membawa anak-anaknya. Juga ada beberapa muda-mudi sedang berdua-duaan disana. Pasti mereka sedang gelisah memikirkan masa depannya. Hehe. Ingat anak muda, cinta kasih yang tak dilanjutkan dengan pernikahan hanya akan menumbuhkan penderitaan yang panjang. (weis guaya..)

Udaranya pun sejuk.  Namanya juga taman flora,  atau disebut juga kebun bibit. Pasti sejuk. Banyak pepohonan seperti flamboyan, sono, asem londo, gandhulan dan lain sebagainya. pepohonan itu meredam deru kendaraan bermotor, yang mengalir di sungai aspal itu.  


Keliling sejenak untuk mencari tempat yang pas untuk menggelar tikar. Menikmati kue rangin yang dijual di pintu masuk. Setelah dapat tempat, aku memesan kopi susu dari warkop yang berjajar di luar pagar.   

Najuba, anak pertama saya yang sekarang masih berusia enam bulan, dalam perjalanan menuju ke tempat ini tidur saja. Sampai di lokasi pun seperti itu. Saya godain biar bangun. Ia melek dengan berat. Tapi akhirnya melek juga. Saya gendong kemudian berkeliling untuk mengamati hijau-hijau daun (suara dengarkanlah aku…), Ia mengamati dari satu fokus, ke fokus yang lainnya.

Nah, dalam catatan ini saya ingin membahas masalah gendong-menggendong. Bukan menggendong ibunya lho ya… tapi menggendong anaknya.

Beberapa orang bilang kalau anak sering digendong menjadikan ia manja. “Bau tangan”, atau “tuman” kata orang jawa. Nah kalau ndak digendong berarti "bau kasur" dong. Hehe.. ternyata setelah saya baca-baca buku dan jelajah dunia maya ternyata menggendong malah membuat bayi menjadi cerdas. Wow (sambil nyruput kopi) meski membuat kita “kemeng”. Demi anak kemeng-kemeng dikit ndak masalah, itung-itung seperti fitnes angkat barbel. Hahai. Beberapa alasan ini saya dapatkan di bukunya Jalaluddin Rahmat yang berjudul “Belajar Cerdas” terbitan kaifa.

Selama sembilan bulan dalam kandungan ibunya, seorang bayi seolah berada dalam ayunan. Sehingga ketika lahir, dia mencari kenyamanan yang sama dengan digendong. Manakala digendong, bayi akan mencari posisi yang nyaman, tubuhnya akan bergerak dan dengan itu ia mengatur dirinya secara neurologis.

Jika bayi Anda menangis, angkat dan gendonglah. Segera ia akan merasa aman, stres dan kecemasannya berkurang, sehingga bayi yang lebih jarang menangis. Dan bayi yang jarang menangis, ia menggunakan lebih banyak waktu dan energinya untuk tumbuh dan belajar. Bayi yang digendong menunjukkan pertam-bahan waktu bangun, yang disebut dengan kesadaran tenang. Inilah keadaan ketika bayi dalam keadaan paling tenang dan paling mampu berinteraksi dengan lingkungan.

Ketika digendong dalam buaian bayi akan lebih banyak mendapatkan perhatian orang tua dan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan, dan karenanya, akan benyak membangun koneksi-koneksi sel otak.

Para peneliti bilang nih, kalau bayi yang digendong menunjukkan kesiapan visual dan auditif yang lebih tinggi. Karena itu, kalau menggendong bayi, usahakan ia memandang ke depan. Pandangannya akan lebih luas. Kemudian ia akan memfokuskan pada apa yang ingin dilihat dan memalingkan dari apa yang tidak ingin dilihat. Kemampuan memilih inilah meningkatkan proses belajar.

Ketika menggendong bayi, Anda boleh untuk melakukan aktifitas lain. karena ternyata bayi belajar banyak pada pengasuh yang sibuk. Otak bayi akan menyimpan pengalaman-pengalaman ini sebagai ribuah potongan film pendek yang tersusun dalam “perpustakaan neuron”.

Para ayah, jangan malas menggendong bayi Anda. Jangan cuma ibunya saja yang di gendong, eh yang menggendong.




Enjoy...

[Ahmad Shobirin/14/April/2013]

Kamis, 14 Maret 2013

(Jangan) Menasehati Siswa


Sebagai Guru, kita tentu sering memberikan nasehat kepada siswa kita. Mereka dengan beragam sikap dan sifatnya, mesti kita hadapi dengan kearifan. Memberikan nasehat-nasehat, tentu saja hal itu merupakan salah satu kearifan. Namun, sering juga nasehat itu hanya didengar seperti angin berlalu. Mudah dilupakan. Lalu bagaimana agar tidak demikian?


Nah, salah satu cara agar apa yang kita nesehatkan menginternalisasi dalam pikiran dan hati adalah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu. Seperti misalnya seorang anak berbuat yang tidak baik kepada temannya, kita bisa memberikan pertanyaan terlebih dahulu mengenai "apa yang dilakukannya?", "mengapa melakukannya?". "apakah itu adalah sikap yang terbaik yang dilakukannnya?" dan lain sebagainya. Ajaklah ia duduk, dan berikan pertanyaan dengan tutur kata yang lemah lembut.

Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita menuntunnya untuk menemukan kesadaran diri. Pertanyaan-pertanyaan itu bisa membuat mereka berpikir sendiri tentang baik dan buruknya mengenai apa yang mereka lakukan. Dengan pertanyaan itu, maka mereka mengkonstruk jawaban di dalam kepala mereka, dengan begitu merekalah yang menemukannya sendiri.  Sedangkan jika kita hanya memberikan nasehat kepada mereka tanpa terlebih dahulu memberikan pertanyaan, maka kita memberikan jawaban langsung kepada mereka. Nasehat yang kita berikan hanya berada di luar kepala mereka. Mereka mendapatkan jawaban dari luar mereka, bukan dari dalam dan akan mudah dilupakan. Sebab, mereka tidak menginternalisasi sendiri dari hati dan pikiran mereka.

Semoga kita menjadi Guru yang arif dan bijaksana.


[Ahmad Shobirin/14/03/13]
 

Rabu, 13 Maret 2013

Lentera Jiwa


Ketika setelah Ashar kemarin pergi ngopi di warkop Bonek Siwalankerto. Memesan kopi susu dan membaca koran Jawapos. Yang menjadi headline beritanya adalah pertandingan leg kedua Barcelona melawan AC Milan. Kalau aku mendukung Barcelona yang setiap kali main sungguh luar biasa penguasaan bolanya. Sangat terhibur. Namun di Leg pertama, kalah. Mangkelnya kalau kalah. Sudah main bagus-bagus eh kalah. Untung saja tadi malem menang 4-0. Yee….

Mengenai sepak bola, mengapa seseorang itu ngefans dengan tim tertentu? Padahal kalau dipikir-pikir apa coba manfaatnya. Cuma sekedar hiburan. Bahkan hal tersebut bisa menjadi candu. Dan hal itu menjadikan seseorang menjadi tak rasional. Kalau aku lihat komentar di berita-berita elektronik pasti aku ketawa-ketawa membacanya. Karena yang seru itu adalah komentar komentarnya. Ada yang membenci ada yang membela habis-habisan. lucu.

Itu menjangkiti aku juga, kalau ada pertandingan bola malam-malam kita rela untuk bangun. Padahal tahu kalau paginya harus kerja. Dan itu bisa melemahkan tubuh karena kurang istirahat. Nah yang disayangkan adalah manakala bangun malam mengabaikan sholat tahajud bahkan subuh malah tertinggal. Aneh memang. Itu kan hanya kesenangan yang artifisial saja, bukan kenikmatan yang hakiki. Maka kalau sepakbola harus sepak bola makrifat.

Jadi ngomongin bola, padahal pada awalnya ingin membicarakan mengenai kolomnya Rhenald Kasali yang berjudul lentera jiwa (2). Pada selasa minggu lalu Beliau menuliskan lentera jiwa (1) yang berkisah mengenai mereka yang mengikuti panggilan jiwanya. Untuk melakukan yang benar-benar diinginkannya. Orang-orang mengatakan passion. Passion itu adalah gampangannya kalau kau mengerjakan sesuatu rela untuk tidak dibayar, dan kau mempunyai kepuasan jiwa. Wah ngopi termasuk ndak ya. Oke, daripada ngelantur lebih baik saya sarikan sebisa saya, hehe.

Ada yang dinamakan hidup yang terpenjara (the caged life) ia selalu merasakan ketakutan jika terjadi perubahan apa saja. “Apakah aku bisa survive?” fokusnya pada “aman atau tersakiti”. Pada posisi ini seseorang berpotensi menjadi komplainer dan tak bahagia melihat orang lain bahagia. Senang lihat orang susah, sudah lihat orang senang.

Yang selanjutnya adalah ia yang mempertahankan kenyamanan (the comfortable life) ia akan bertanya “apakah saya akan diterima atau berhasil?” fokus mereka adalah penerimaan. Mereka seringkali mengalami kebosanan karena menjalani hari dengan rutinitas-rutintas.

Dan yang selanjutnya pemantik lentera jiwa. Ia akan bertanya “apakah saya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualisasikan potensi diri saya? Apakah saya telah menjalankan hidup yang inspiratif dan menginspirasi orang lain?” bagi pemantik lentera jiwa hidup adalah keajaiban dan kebermakaan. Mereka tak takut menghadapi gelombang gelombang ancaman. Mereka hanya peduli “apakah ini benar atau tidak dan apakah ini meaningful?”

Para pemain bola mungkin telah mampu mematik lentera jiwanya. Apakah para penontonnya juga?

[Ahmad Shobirin/13/03/2013]

Rabu, 20 Februari 2013

Basuhlah dengan Embun



Wahai engkau yang jatuh dari ketinggian. Sayapmu rapuh. Buanglah itu. 
Dia akan bisa tumbuh lagi, basuhlah dengan embun-embun pagi. Meski hanya sedikit, namun itu suci. 
Kau harus bersabar menunggu tiap pagi, mengambil dari ujung ujung rerumputan, atau dari tetes pucuk dedaunan. 
Bukankah Tuhan tak tiap hari menurunkan hujan untuk menyuburkan hutan. 
Namun ia selalu menyediakan malam untuk mengumpulkan partikel air yang melayang di udara untuk hinggap di rimbun dedaunan. 
Yang ketika pagi, itulah yang kau sebut embun.

"Innallaha faliqulhabbi wa annawa"
Sungguh, Ia-lah yang menumbuhkan butir tetumbuhan dan benih tanaman.

[Ahmad Shobirin/20/02/2013]

Jumat, 01 Februari 2013

Kebun Ma'rifat, Kebun Kedamaian


Tubuh, adakalanya gerah mengerjakan tugas-tugas kehidupan, maka, marilah kita memasuki kebun ini, melepaskan alas kaki, merasakan rerumputan yang memijit lembut kulit keras kaki yang di sana banyak berpusat syaraf-syaraf tubuh.

Adakalanya, mata terasa sepat dan berat memandang tumpukan pekerjaan, maka, marilah memandang hijau dan warna warni kembang di kebun itu.

Adakalanya, nafas terasa sesak merasakan tekanan-tekanan keinginan diri, maka marilah menghirup sejuknya udara yang menari halus dalam kebun itu. Ia menyegarkan, mendamaikan dan menenangkan.

Dalam kebun itu kita akan mendengar kicauan burung, suara pohon, semak-semak, bunga, bebatuan, air, gunung dan yang lainnya. Mereka menyuarakan kebijaksanaan, rahmat dan ketenangan.

[]

Marilah mendekat, merendah, didekat dan sejajar kaki orang tua yang bijak ini. Orang tua yang lembut, ia menuntun memasuki kebun-kebun kehidupan terdalam. Mengarahkan untuk mengikuti jalan kearifan dan kedamaian. Kisah-kisahnya  menyusup ke dalam hati menjernihkan akal dalam memahami kehidupan.

Orang tua yang bijak dan penuh kelembutan ini mengajak kita bersama melalui kisah-kisah menawannya untuk berfikir tantang ajaran yang telah dikirimkan Allah kepada kita. Mencari bersama penjelasan mengenai makna-maknanya. kita diajarkan mengenai persatuan dan kedamaian. Kita akan ditunjukkan bagaimana cinta sejati harus bertindak, menjelaskan tentang keadilan dan hati nurani. Ia akan membuka perlahan dan lembut kesadaran kita untuk mempersilahkan kebenaran masuk kedalam diri kita menggantikan sifat jahat yang telah lama ada dalam diri kita.

Makna-makna kebijaksanaan hidup akan akan diperoleh dengan mudah jika kita merendahkan hati kita, memiliki kesabaran yang mendalam, kesenangan dan keyakinan kepada-Nya serta pasrah kepada Allah untuk menjadi hamba-Nya. Lalu, Ia akan menambahkan kekuatan kepada diri kita dan dengan demikian semoga Allah memberi kesadaran kepada kita.

Beliau mengatakan bahwa hanya jika memperoleh sifat-Nya, maka kita bisa menjalankan pekerjaan yang benar di lahan kehidupan kita. Kehidupan kita sangat halus, maka kita harus mengatur kehidupan ini dengan kearifan yang halus pula.

Buku ini adalah untuk anak-anak yang belajar berbicara, anak-anak yang tumbuh dewasa, mereka yang ingin memahami usia tua dan kematian. Petuahnya tidak akan melukai siapapun, karena ia hanya semata-mata membawa kebaikan pada kehidupan kita sendiri dan kepada makhluk-makhluk lainnya.

Jika kita memahami lebih banyak dari buku ini maka akan lebih banyak kebaikan, kedamaian dan ketenangan yang muncul tercipta. Setiap kita membaca buku ini lagi dan lagi, akan menambah makna-makna pada setiap kata-katanya. Ya, kita tak cukup hanya memahami kata-katanya, namun juga makna yang terselip dalam kata-kata itu.

[]
Sudah beberapa kali saya membaca buku ini. Nampaknya, buku “Kebun Ma’rifat, jilid 4” ini sudah saatnya berpindah tangan kepada yang lainnya. Karena, saya sudah mempunyai satu jilid komplit buku ini sebagai koleksi. Dan kebetulan buku  ini merupakan koleksi lebih. Jika para pembaca berminat, kita bisa bertukar buku (jika Anda punya koleksi lebih) atau bila memang sangat berminat, silahkan hubungi saya. Sebagai informasi di dalam jilid ke-4 ini berisi 25 cerita-cerita yang menyadarkan akan kesejukan kebun kehidupan. 

[] 
Judul Buku       : Kebun Ma’rifat 4; Come to the secret Garden
Pengarang         : M. Rahim Bawa Muhayyaddeen
Penerbit            : Syafaat (kelompok penerbit Risalah Gusti)
Tahun terbit     : Cetakan Pertama, Agustus, 2002
Tebal                : xxxix + 250 halaman
Sampul             : Hard Cover

[]

1/Februari/2013|Ahmad Shobirin Obiyoso