Salam

Terimakasih atas kesediaanya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini. Semoga memberi manfaat. Keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan semoga senantiasa melingkupi kita semua. Mari menikmati hidup ini...

Jumat, 06 Desember 2013

MENGEMBARAKAN BUKU KE SANGGAR BACA


Beberapa hari lalu saya mengirimkan beberapa buku koleksi untuk sanggar baca. Sebab, sebelumnya, sahabat saya sejak kuliah @Syerly Ade memberitahu saya bahwa ia sedang membuat Sanggar Baca Anak Bangsa (SBAB). Ia ingin membuat tempat baca bagi masyarakat di desanya yakni Ds. Kedungsukodani Rt 10/Rw 03 Kec. Balongbendo Kab. Sidoarjo, Jawa Timur. Ia memohon doa restu karena ia akan memulai perjuangan membuat sanggar tersebut. Upaya yang perlu diberikan apresiasi sebab itu menjadi salah satu cara melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Ia saya kenal sebagai sosok yang selalu berjuang. Ia tak mau berhenti dan terus bergerak.

Saya masih ingat, ketika ia pernah mengajak saya untuk menjadi relawan sudut baca Surabaya. Suatu gerakan yang mendukung gerakan masyarakat membaca. Kami bertugas di tempat-tempat umum, seperti terminal dan stasiun. Di mana kami menyediakan rak untuk menyusun buku-buku yang disuplai dari perpustakaan daerah untuk dibaca mereka yang sedang menunggu bis atau kereta. Sekarang saya tidak tahu bagaimana kelanjutan programnya. Itu program bagus, sayang jika ditinggal lalu.

Sekarang, saya lihat di Surabaya, muncul taman bacaan masyarakat (TBM) di kampung-kampung. Tentunya hal itu untuk menggairahkan masyarakat untuk membaca. Masyarakat bergairah adanya hal itu, awalnya. Namun sekarang, buku-buku itu sobek sana-sini, mereka merasa sepi, berdebu dan tak terurus lagi.

Ketika SMA, teman saya di desa yang penggemar buku menggagas pembuatan sanggar baca di Mushollah. Kami ingin anak-anak dan warga  sekitar senang membaca. Para remaja mushollah berkumpul untuk merealisasikan gagasan ini. Kami berhasil mendapatkan banyak buku-buku. Masyarakat membantu untuk membuat rak-raknya. Kami menatanya dengan rapi. Masyarakat senang, anak-anak saling berebut membaca buku. Waktu bergulir, tak ada lagi yang membaca. Buku-buku itu bernasib sama. Kesepian. Hilang.

Apa hal yang sama juga terjadi di perpustakaan umum kota atau daerah?. Mungkin berbeda. Sebab buku-buku itu ada yang merawat. Dan ada anggaran pasti dari pemerintah. Terlepas apakah ramai pengunjungnya atau tidak.   

Apa yang salah dari sanggar baca? Tata kelola, mungkin. Jika tak ada pembaruan atau sirkulasi buku di sanggar baca, maka masyarakat akan bosan. Sebab dengan minimnya koleksi yang dipunyai, saya yakin tak perlu waktu lama bagi masyarakat untuk membacanya. Karena itu saya pikir perlu ada orang-orang yang benar-benar peduli terhadap sanggar baca. Sekedar menggagas tak akan membuat puas, oleh sebab itu perlu mengawas dan jika sudah jadi tidak lantas dilepas. Perlu kontinuitas manajerial dan bekerja dengan ikhlas.

Saya yakin sahabat saya sudah memikirkan hal itu. Rumusan-rumusan apa yang saja yang perlu ia pasti tahu. Ia bukan tipikal orang yang memulai tanpa menyelesaikan. Sahabat saya pasti sudah tahu rumusan ini bahwa “Kekuatan dan kegigihan dalam melangkah lebih diperlukan manakala kita berada di pertengahan perjalanan, bukan hanya di awal. Sehingga, di akhir perjalanan nanti kita kita bisa puas dan tenang.” Ia tahu caranya menyalakan lilin, agar orang-orang tak mengutuk kegelapan. Karena itu, mari membantunya—sanggar baca—untuk mengumpulkan buku-buku.

Mengenai buku-buku dan perpustakaan, aku ingat salah satu renungan Paulo Coelho dalam bukunya “Seperti Sungai yang Mengalir”.

“....saya memutuskan hanya menyimpan empat ratus buku di perpustakaan saya—beberapa karena memiliki nilai kenangan, lain-lainnya karena masih sering saya baca ulang. Saya mengambil keputusan ini karena berbagai alasan, dan salah satunya adalah rasa sedih saya kalau melihat betapa koleksi buku-buku yang dikumpulkan dengan susah payah seumur hidup, sering kali dijual murah begitu saja secara borongan, setelah pemilikya meninggal dunia, tanpa menunjukkan respek sedikitpun pada buku-buku tersebut. Selain itu untuk apa menyimpan buku-buku di rumah? Untuk membuktikan kepada teman-teman saya, betapa berbudayanya saya? Untuk menjadi penghias dinding-dinding? Buku-buku yang saya beli itu akan jauh bermanfaat kalau ditaruh di perpustakaan umum daripada di rumah saya.
Dulu saya suka berkata bahwa saya membutuhkan buku-buku itu, sebab siapa tahu saya butuh informasi di dalamnya. Tetapi sekarang, kalau ingin mencari tahu tentang sesuatu, saya tinggal menyalakan komputer, mengetikkan kata kuncinya, dan semua yang perlu saya ketahui langsung terpampang di layar –berkat internet, perpustakaan terbesar di palnet ini.
Tentu saja saya tetap membeli buku—mereka tidak bisa digantikan oleh versi elektronik apa pun, tetapi begitu saya selesai membacanya, buku itu saya lepaskan; saya berikan kepada seseorang, atau saya sumbangkan keperpustakaan umum. Saya bukan bermaksud menyelamatkan hutan ataupun bermurah hati. Saya sekedar meyakini bahwa sebuah buku mempunyai perjalanannya sendiri, dan tidak seharusnya dikurung dalam rak.
... Marilah kita bebaskan buku-buku itu untuk mengembara, disentuh tangan tangan lain, dan dinikmati mata orang lain.

Saya yakin, pembaca punya beberapa buku yang saya pikir, sudah tak akan dibuka lagi. Karena itu, ada baiknya kita bebaskan mereka untuk mengembara, disentuh oleh tangan yang lain menjelajah pikiran orang lain. Bolehlah sekarang, mari kita alirkan buku-buku itu kepada sanggar-sanggar baca.

Semboyan sahabat saya dalam perjuangan sanggar baca ini adalah, “Apapun yang bisa kita lakukan untuk kebaikan negeri ini mari kita lakukan meski hanya dengan satu buku”

Mari berbagi buku!

[]
*Ahmad Shobirin Obiyoso