Salam

Terimakasih atas kesediaanya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini. Semoga memberi manfaat. Keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan semoga senantiasa melingkupi kita semua. Mari menikmati hidup ini...

Selasa, 23 Juni 2015

Memperdaya Ibadah

Seandainya saja ketakwaan seseorang bisa diukur dengan banyaknya buku agama yang dibaca, pengetahuan tentang keagamaan yang dikuasai, mungkin saya bisa termasuk orang yang takwa. Tetapi tidak! Ketakwaan itu masalah amal ibadah. Setinggi apapun pengetahuan agama kita, namun jika nihil amal ibadah, maka akan sia-sia. Baik itu amal individu maupun amal sosial.

Kebanyakan dari  kita menjadi sangat ahli dalam membicarakan tentang kebaikan. Tetapi untuk melakukannya, kita awam. Kalau toh kita bisa beramal, maka itu alhamdulillah. Namun, amal juga bukan sekedar amal. Ia menuntut kemurnian niat hati untuk mendapatkan rida Ilahi.

Dikisahkan, seorang murid dari Manshur ibn Ammar, terbaring sakit. Murid itu dikenal sebagai ahli ibadah, shalat malam, juga gemar bersedekah. Sang guru menjenguknya. Ia mendapati muridnya terbaring di tengah rumah. Wajahnya menghitam, kedua matanya membiru, bibirnya mengeras, dan tidak nampak sebagai orang yang saleh yang biasanya raut mukanya bercahaya.

Manshur berkata,”Saudaraku, perbanyaklah ucapan La Ilaha Illallah.” Sang murid membuka mata dan memandang dengan sinis, lalu pingsan. Saat siuman, Manshur berkata lagi, “Wahai saudaraku, perbanyaklah ucapan La Ilaha Illallah.” Muridnya kembali memandang dengan sinis, lalu pingsan. Saat dia sadar, Manshur berkata lagi, “wahai saudaraku, perbanyaklah ucapan La Ilaha Illallah.”

Muridnya membuka mata dan berkata, “Wahai saudaraku, Manshur! Aku terhalang untuk mengucapkan kalimat tersebut.”

“Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari Allah. Di manakah puasa, bangun malam, shalat, dan tahajudmu?”

“Semua itu, kulakukan bukan untuk mencari rida Allah, melainkan agar aku disebut orang zuhud, ahli ibadah, atau orang yang saleh. Ketika sendirian, kututup pintu, kuturunkan tabir, kemudian kuminum arak dan melawan Tuhanku dengan kemaksiatan. Aku melakukan hal tersebut hingga sekian lama  hingga terkena penyakit berat dan hampir binasa. Suatu saat aku berkata pada putraku, ‘Tolong ambilkan mushaf!' kuambil mushaf dari tangan anakku dan kubaca huruf-demi huruf hingga surah Yasin. Kemudian mushaf kuangkat sambil mengatakan, ’Ya Allah! Dengan kebenaran al Quran agung ini, sembuhkanlah aku dan aku tidak akan pernah melakukan dosa lagi'. Allah pun menyembuhkanku. Setelah sembuh, ternyata aku melakukan kemaksiatan seperti sedia kala dan tenggelam dalam kelezatan serta riya. Setan telah membuatku lupa akan janjiku terhadap Tuhanku. Hal itu berlangsung beberapa waktu. Tak lama kemudian, aku sakit keras hingga hampir mati. Lantas aku meminta keluargaku membaringkanku di tengah rumah. Mereka menyodorkan al Quran lalu aku membacanya dan mengangkatnya seraya mengatakan, ‘Ya Allah! Demi kehormatan firmanMu yang ada dalam al Quran sembuhkanlah aku.’

“Allah mengabulkan doaku dan menyembuhkanku. Lalu aku kembali terjerumus dalam kesesatan dan godaan hawa nafsu seperti sebelumnya. Ketika jatuh sakit lagi, aku kembali meminta mushaf untuk dibaca, namun tak satu huruf pun bisa ku baca. Aku tahu bahwa Allah telah murka. Aku menengadahkan kepala ke langit sambil berkata, ‘Wahai pencipta langit dan bumi! Demi kehormatan mushaf ini sembuhkanlah aku'. Tiba-tiba aku mendengar suara mengatakan:

Engkau tobat saat jatuh sakit. Namun kembali melakukan kemaksiatan saat sembuh. Saat bahaya menimpamu, engkaupun menangis. Namun saat kuat, engkau menjadi lebih buruk.

Banyak kesulitan yang dibebaskan darimu. Berapa banyak bencana yang telah dihilangkan darimu? Berapa banyak dosa yang ditutupi darimu? Namun sepanjang hari kau mempertontonkannya.

Tidakkah engkau takut ketika kematian tiba,engkau melakukan-melakukan kesalahan? Engkau lupa akan karunia Tuhan yang telah mencurahkan karunia kepadamu. Namun engkau tidak pernah menyesal dan takut.

Tidak sedikit engkau berjanji dan mengingkarinya. Dan engkau pun lupa setiap kebaikan. Susullah sebelum engkau dipindahkan dari tempat tinggalmu. Menuju kuburan yang memanggilmu.

Sang guru keluar meninggalkan muridnya dengan membawa berbagai pelajaran yang memenuhi mata. Ia berkata, “Ya Allah! Anugerahkanlah aku husnul khatimah. Berapa banyak jiwa yang diperdaya, padahal sebelumnya berpuasa dan bangun malam.”

Beberapa hari kemudian, muridnya meninggal dunia. Manshur masih berduka dan memohon kepada Allah agar murindanya mendapatkan limpahan ampunan dan rahmat yang luas.

Kita sering terperdaya atau memperdaya ibadah kita. Bukan semata-mata karena Allah, tetapi karena sebab lain. Dan itu akan lebih merugikan diri kita sendiri.
--
Ramadhan ke-6
Selasa, 23 Juni 2015
Ahmad Shobirin Obiyoso

Senin, 22 Juni 2015

Menghilangkan Kecemasan

Alasan kuat seseorang mengejar kekayaan adalah untuk menjauhkan diri dari cemasnya kemiskinan. Ketenaran dicari oleh mereka yang menghindari kecemasan diabaikan orang lain. Kita mencari ilmu sebab untuk menghindari rasa cemas akan kebodohan.

Kita bercakap-cakap dan menggunjing orang lain hanya karena kita berpikir bahwa hal itulah yang mampu mengusir rasa cemas terhadap kesendirian dan keterkucilan. Kita makan, minum, berpakaian, bermain, bercinta, tamasya, dan lain-lainya demi menjauhkan diri dari kecemasan.

Lalu kita mengerti bahwa ada jalan yang hakiki untuk menjauhkan diri dari kecemasan. Yakni beribadah kepada Allah. Apapun yang kita lakukan, jika hal itu menyertakan Allah. Maka itu bernilai ibadah. Dan itu menenangkan.

Hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang.

~
Catatan Ramadhan ke-5
Senin, 22 Juni 2015
Ahmad Shobirin Obiyoso
~

Jumat, 19 Juni 2015

Berteman dengan Tuhan

Lumayan. Itu penilaian puasa Ramadhan hari kedua. Lebih menjiwai dari pada kemarin.

Kalau iman lemah, hal-hal yang sebenarnya remeh bisa jadi alasan untuk meninggalkan ibadah. Kenapa ndak puasa? Waduh ndak sahur. Kenapa ndak sholat? Pakaianku najis. Dan lain lain.
Padahal ada nikmat yang luar biasa manakala muncul pertumbuhan spiritual.

Siraman air sejuk Tuhan akan mengalir ke hati kita, jika hati merendah. Kita semestinya selalu terhubung dengan Tuhan. Sebab, keterputusan hubungan dengan Tuhan akan membuat hati kita, layu.

Dunia begitu ramai. Pikiran-pikiran kita silih berganti. Hati dihinggapi kecemasan yang selalu datang. Hingga kita mungkin sulit untuk menyediakan ruang suwung agar air sejuk Tuhan masuk. Ruang agar kita bisa duduk tenang diterangi cahayaNya yang menyegarkan hati.

Tuhan selalu menemani.

Dikisahkan, Ibrahim bin Adham gemar menyepi dan menyendiri. Ia ditanya mengapa ia tidak bergaul dengan orang-orang. Mungkin kalau sekarang, mengapa ia tak sempat sekedar ngopi di warkop.

Lalu beliau menjawab, "Kalau aku berteman dengan orang-orang yang ada di bawahku, ia akan menyakitiku dengan kebodohannya. Jika aku berteman dengan orang yang ada di atasku, niscaya ia akan menyakitiku dengan bualannya. Jika aku berteman degan orang yang sepertiku, niscaya ia akan dengki. Karena itu, kutemani Tuhanku. Tidak ada kejemuan jika bersahabat denganNya. Tidak akan terputus jika terhubung denganNya. Tidak akan terasing jika akrab bersamaNya."

~
Jumat 19 Juni 2015
Ramadhan ke-2
Ahmad Shobirin Obiyoso

Kamis, 18 Juni 2015

Berpikir Sederhana

Seringkali kita berpikir rumit. Mengandalkan emosi dan prasangka. Padahal harusnya bisa simpel. Seperti dalam sebuah kisah berikut:

Bersama para pengawalnya--kalau sekarang ajudan atau paspampres--Khalifah Harun al Rasyid meninjau langsung rakyatnya pada malam hari. Khalifah memasuki masjid dan tanpa sengaja, karena suasananya begitu gelap, menabrak orang yang sedang tidur. Orang itu terbangun dan menghardik Khalifah, "Apa kamu gila?!"

"Tidak," jawab Khalifah.

Para pengawalnya hendak memukul orang itu karena berlaku tidak sopan, namun dicegah Khalifah.

"Jangan! Jangan! Dia hanya bertanya apakah saya sedang gila. Dan sudah saya jawab tidak."

#catatanramadhan