Salam

Terimakasih atas kesediaanya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini. Semoga memberi manfaat. Keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan semoga senantiasa melingkupi kita semua. Mari menikmati hidup ini...

Senin, 05 Maret 2012

Kisah dari Pembina Upacara Bendera

Senin pagi yang sejuk dan hangat selalu kunikmati di lapangan. Merasakan udara pagi yang hangat, aroma rumput yang terbawa angin, dan cericit bunyi burung-burung yang bergairah menyambut hari.

Anak-anak berbaris rapi, dengan gurauan khas anak anak yang suka jahil dan ribut sendiri. Para guru dan karyawanpun demikian. Mereka berkumpul dalam satu waktu. Untuk melaksanakan upacara bendera.

Ya. Upacara bendera. Salah satu seremoni yang bertujuan mulia untuk cinta kepada tanah air. Mengenang jasa para pahlawan. Menghormat pada sang merah putih. Melafalkan bersama pancasila, untuk kita hayati nilai nilai luhurnya. Mendengarkan pembukaan undang-undang dasar 1945, untuk merealisasikan cita-cita kemerdekaan. Mendengarkan amanat pembina upacara. Menyanyikan lagu cinta tanah air. Memanjatkan doa bersama kepada Tuhan yang pencipta segalanya.
Senin minggu lalu aku menjadi pembina upacara. Suatu kesempatan yang jarang didapatkan. Bisa berbicara di bawah naungan sang bendera merah putih yang berkibar-kibar bersemangat. Memberikan amanat-amanat luhur kepada para peserta upacara.

Aku ingat, setahun kemarin, aku juga bertindak sebagai pembina upacara. lucunya, karena pikiran sedang sibuk memikirkan apa yang akan aku sampaikan, sampai-sampai aku ndak konsentrasi saat dipanggil oleh pembawa acara.

“Pembina upacara memasuki lapangan upacara”. Begitu ujar sang pembawa acara. aku masih berdiri terdiam di pinggir lapangan. ndak sadar kalau saat itu aku harus melangkahkan kaki masuk kedalan lapangan upacara. Para murid memandangku, para guru juga. Dheng! Beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa itu giliranku dan melangkah maju. Mereka heran. Dikiranya aku sengaja. Ah, betapa malunya aku.

Senin kemarin hal itu tidak aku ulangi. Aku menyiapkannya. Aku mencari cara agar nasehat yang aku sampaikan tidak terbuang begitu saja. Aku membungkusnya dalam bentuk kisah atau cerita. Aku meyakini jika nasehat baik diberikan begitu saja, kita akan mudah mengabaikannya bahkan melupakannya.

“Amanat Pembina Upacara, Barisan diistirahatkan”

Aku memulainya.

“Assalamualaikum waroh matullohi wabara katuh….

Yang terhormat…. (ammaba’du)

Pada hari ini, bapak mendapat kesempatan untuk menyampaikan amanat kepada kalian semua. Semoga amanat yang bapak sampaikan mempunyai hikmah yang bisa kita ambil pelajaran.

Pada kesempatan ini, Bapak akan membawakan sebuah kisah, tentang seorang anak yang tidak menyerah, punya kemandirian yang kuat.

Kisah ini kisah nyata dari Tiongkok. Cerita tentang seorang anak yang bernama Zang Da, siapa namanya?”

“Zang Da……” anak-anak kompak menjawab.

“anak-anak…", kujeda sejenak untuk mendapatkan perhatian peserta upacara.

Zang Da ini harus mangalami hidup yang tragis, tidak seberuntung kita. Zhang Da harus menanggung beban hidup yang berat ketika usianya masih sangat belia. Tahun 2001, ketika usianya menjelang 10 tahun, Zhang Da harus menerima kenyataan ibunya lari dari rumah. lho kenapa ibunya kabur dari rumah? Sang ibu kabur karena tak tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya. Yang lebih tragis, si ibu pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus suaminya yang lumpuh, tak berdaya, dan tanpa harta. Dan ia tak mau menafkahi keluarganya.

Maka Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang lumpuh, harus mengambil-alih semua pekerjaan keluarga. Ia harus mengurus ayahnya, mencari nafkah, mencari makanan, memasaknya, memandikan sang ayah, mencuci pakaian, mengobatinya, dan sebagainya.

Tidak seperti kita, yang jika ingin apa-apa mudah kita mendapatkannya, kalau ingin roti kita tinggal bilang sama pembantu atau bibi kita ‘Bi…. Minta roti…’ datanglah roti. ‘Bi…. Minta susu..’ datanglah susu. ‘Bi…. Minta sapi’ datanglah sapi.”

“Hahaha…” anak-anak tertawa.

“Nah, Yang patut dihargai, Zang Da tak mau putus sekolah. Setelah mengurus ayahnya, ia pergi ke sekolah berjalan kaki melewati hutan kecil dengan mengikuti jalan menuju tempatnya mencari ilmu. Selama dalam perjalanan, ia memakan apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya, mulai dari memakan rumput, dedaunan, dan jamur-jamur untuk berhemat. Tak semua bisa jadi bahan makanannya, ia menyeleksinya berdasarkan pengalaman. Ketika satu tumbuhan merasa tak cocok dengan lidahnya, ia tinggalkan dan beralih ke tanaman berikut. Sangat beruntung karena ia tak memakan dedaunan atau jamur yang beracun.

Usai sekolah, agar dirinya bisa membeli makanan dan obat untuk sang ayah, Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa keranjang di punggung dan pergi menjadi pemecah batu. Upahnya ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan sejumlah buku untuk ia pejalari.

Zhang Da ternyata cerdas. Ia tahu ayahnya tak hanya membutuhkan obat yang harus diminum, tetapi diperlukan obat yang harus disuntikkan.Karena tak mampu membawa sang ayah ke dokter atau ke klinik terdekat, Zhang Da justru mempelajari bagaimana cara menyuntik. Ia beli bukunya untuk ia pelajari caranya. Setelah bisa ia membeli jarum suntik dan obatnya lalu menyuntikkannya secara rutin pada sang ayah.

Kegiatan merawat ayahnya terus dijalaninya hingga sampai lima tahun. Rupanya kegigihan Zhang Da yang tinggal di Nanjing, Provinsi Zhejiang, menarik pemerintahan setempat. Pada Januari 2006 pemerintah China menyelenggarakan penghargaan nasional pada tokoh-tokoh inspiratif nasional. Dari 10 nama pemenang, satu di antaranya terselip nama Zhang Da. Ternyata ia menjadi pemenang termuda.

Acara pengukuhan dilakukan melalui siaran langsung televisi secara nasional. Zhang Da si pemenang diminta tampil ke depan panggung. Seorang pemandu acara menanyakan kenapa ia mau berkorban seperti itu padahal dirinya masih anak-anak. "Hidup harus terus berjalan. Tidak boleh menyerah, tidak boleh melakukan kejahatan. Harus menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab ," katanya.

Setelah itu suara gemuruh penonton memberinya tepuk tangan. Pembawa acara menanyainya lagi. "Zhang Da, sebut saja apa yang kamu mau, sekolah di mana, dan apa yang kamu inginkan. Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah dan mau kuliah di mana. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebutkan saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!" papar pembawa acara.

Zhang Da terdiam. Keheningan pun menunggu ucapannya. Pembaca acara harus mengingatkannya lagi. "Sebut saja!" katanya menegaskan.

Zhang Da yang saat itu sudah berusaha 15 tahun pun mulai membuka mulutnya dengan bergetar. Semua hadirin di ruangan itu, dan juga jutaan orang yang menyaksikannya langsung melalui televisi, terdiam menunggu apa keinginan Zhang Da. "Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri. Mama kembalilah !" kata Zhang Da yang disambut tetesan air mata haru para penonton.

Zhang Da tak meminta hadiah uang atau materi atas ketulusannya berbakti kepada orangtuanya. Padahal saat itu semua yang hadir bisa membantu mewujudkannya. Di mata Zhang Da, mungkin materi bisa dicari sesuai dengan kebutuhannya, tetapi seorang ibu dan kasih sayangnya, itu tak ternilai."

Gemuruh tepuk tangan dari anak-anak terdengar bersemangat, kagum kepada Zang Da. 

Senang sekali melihat mereka gembira, semoga apa yang aku sampaikan akan terus diingat oleh mereka, dan bisa dinternalisasi oleh mereka, mengambil pelajaran yang berharga, menghargai orang tuanya, dan mensyukuri segala karunia hidupnya.  

(cerita tentang Zang Da ini aku ambil www.andriewongso.com)

Ahmad Shobirin, Guru di Sekolah Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo

2 komentar: