Salam

Terimakasih atas kesediaanya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini. Semoga memberi manfaat. Keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan semoga senantiasa melingkupi kita semua. Mari menikmati hidup ini...

Kamis, 14 Maret 2013

(Jangan) Menasehati Siswa


Sebagai Guru, kita tentu sering memberikan nasehat kepada siswa kita. Mereka dengan beragam sikap dan sifatnya, mesti kita hadapi dengan kearifan. Memberikan nasehat-nasehat, tentu saja hal itu merupakan salah satu kearifan. Namun, sering juga nasehat itu hanya didengar seperti angin berlalu. Mudah dilupakan. Lalu bagaimana agar tidak demikian?


Nah, salah satu cara agar apa yang kita nesehatkan menginternalisasi dalam pikiran dan hati adalah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu. Seperti misalnya seorang anak berbuat yang tidak baik kepada temannya, kita bisa memberikan pertanyaan terlebih dahulu mengenai "apa yang dilakukannya?", "mengapa melakukannya?". "apakah itu adalah sikap yang terbaik yang dilakukannnya?" dan lain sebagainya. Ajaklah ia duduk, dan berikan pertanyaan dengan tutur kata yang lemah lembut.

Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita menuntunnya untuk menemukan kesadaran diri. Pertanyaan-pertanyaan itu bisa membuat mereka berpikir sendiri tentang baik dan buruknya mengenai apa yang mereka lakukan. Dengan pertanyaan itu, maka mereka mengkonstruk jawaban di dalam kepala mereka, dengan begitu merekalah yang menemukannya sendiri.  Sedangkan jika kita hanya memberikan nasehat kepada mereka tanpa terlebih dahulu memberikan pertanyaan, maka kita memberikan jawaban langsung kepada mereka. Nasehat yang kita berikan hanya berada di luar kepala mereka. Mereka mendapatkan jawaban dari luar mereka, bukan dari dalam dan akan mudah dilupakan. Sebab, mereka tidak menginternalisasi sendiri dari hati dan pikiran mereka.

Semoga kita menjadi Guru yang arif dan bijaksana.


[Ahmad Shobirin/14/03/13]
 

Rabu, 13 Maret 2013

Lentera Jiwa


Ketika setelah Ashar kemarin pergi ngopi di warkop Bonek Siwalankerto. Memesan kopi susu dan membaca koran Jawapos. Yang menjadi headline beritanya adalah pertandingan leg kedua Barcelona melawan AC Milan. Kalau aku mendukung Barcelona yang setiap kali main sungguh luar biasa penguasaan bolanya. Sangat terhibur. Namun di Leg pertama, kalah. Mangkelnya kalau kalah. Sudah main bagus-bagus eh kalah. Untung saja tadi malem menang 4-0. Yee….

Mengenai sepak bola, mengapa seseorang itu ngefans dengan tim tertentu? Padahal kalau dipikir-pikir apa coba manfaatnya. Cuma sekedar hiburan. Bahkan hal tersebut bisa menjadi candu. Dan hal itu menjadikan seseorang menjadi tak rasional. Kalau aku lihat komentar di berita-berita elektronik pasti aku ketawa-ketawa membacanya. Karena yang seru itu adalah komentar komentarnya. Ada yang membenci ada yang membela habis-habisan. lucu.

Itu menjangkiti aku juga, kalau ada pertandingan bola malam-malam kita rela untuk bangun. Padahal tahu kalau paginya harus kerja. Dan itu bisa melemahkan tubuh karena kurang istirahat. Nah yang disayangkan adalah manakala bangun malam mengabaikan sholat tahajud bahkan subuh malah tertinggal. Aneh memang. Itu kan hanya kesenangan yang artifisial saja, bukan kenikmatan yang hakiki. Maka kalau sepakbola harus sepak bola makrifat.

Jadi ngomongin bola, padahal pada awalnya ingin membicarakan mengenai kolomnya Rhenald Kasali yang berjudul lentera jiwa (2). Pada selasa minggu lalu Beliau menuliskan lentera jiwa (1) yang berkisah mengenai mereka yang mengikuti panggilan jiwanya. Untuk melakukan yang benar-benar diinginkannya. Orang-orang mengatakan passion. Passion itu adalah gampangannya kalau kau mengerjakan sesuatu rela untuk tidak dibayar, dan kau mempunyai kepuasan jiwa. Wah ngopi termasuk ndak ya. Oke, daripada ngelantur lebih baik saya sarikan sebisa saya, hehe.

Ada yang dinamakan hidup yang terpenjara (the caged life) ia selalu merasakan ketakutan jika terjadi perubahan apa saja. “Apakah aku bisa survive?” fokusnya pada “aman atau tersakiti”. Pada posisi ini seseorang berpotensi menjadi komplainer dan tak bahagia melihat orang lain bahagia. Senang lihat orang susah, sudah lihat orang senang.

Yang selanjutnya adalah ia yang mempertahankan kenyamanan (the comfortable life) ia akan bertanya “apakah saya akan diterima atau berhasil?” fokus mereka adalah penerimaan. Mereka seringkali mengalami kebosanan karena menjalani hari dengan rutinitas-rutintas.

Dan yang selanjutnya pemantik lentera jiwa. Ia akan bertanya “apakah saya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualisasikan potensi diri saya? Apakah saya telah menjalankan hidup yang inspiratif dan menginspirasi orang lain?” bagi pemantik lentera jiwa hidup adalah keajaiban dan kebermakaan. Mereka tak takut menghadapi gelombang gelombang ancaman. Mereka hanya peduli “apakah ini benar atau tidak dan apakah ini meaningful?”

Para pemain bola mungkin telah mampu mematik lentera jiwanya. Apakah para penontonnya juga?

[Ahmad Shobirin/13/03/2013]