Ketika setelah Ashar kemarin pergi ngopi di warkop Bonek Siwalankerto.
Memesan kopi susu dan membaca koran Jawapos. Yang menjadi headline beritanya adalah pertandingan leg kedua Barcelona melawan AC
Milan. Kalau aku mendukung Barcelona yang setiap kali main sungguh luar biasa
penguasaan bolanya. Sangat terhibur. Namun di Leg pertama, kalah. Mangkelnya
kalau kalah. Sudah main bagus-bagus eh kalah. Untung saja tadi malem menang
4-0. Yee….
Mengenai sepak bola, mengapa seseorang itu ngefans dengan
tim tertentu? Padahal kalau dipikir-pikir apa coba manfaatnya. Cuma sekedar
hiburan. Bahkan hal tersebut bisa menjadi candu. Dan hal itu menjadikan
seseorang menjadi tak rasional. Kalau aku lihat komentar di berita-berita
elektronik pasti aku ketawa-ketawa membacanya. Karena yang seru itu adalah
komentar komentarnya. Ada yang membenci ada yang membela habis-habisan. lucu.
Itu menjangkiti aku juga, kalau ada pertandingan bola malam-malam kita rela untuk bangun. Padahal tahu kalau paginya harus kerja. Dan itu
bisa melemahkan tubuh karena kurang istirahat. Nah yang disayangkan adalah
manakala bangun malam mengabaikan sholat tahajud bahkan subuh malah tertinggal.
Aneh memang. Itu kan hanya kesenangan yang artifisial saja, bukan kenikmatan
yang hakiki. Maka kalau sepakbola harus sepak bola makrifat.
Jadi ngomongin bola, padahal pada awalnya ingin membicarakan
mengenai kolomnya Rhenald Kasali yang berjudul lentera jiwa (2). Pada selasa minggu lalu Beliau menuliskan lentera jiwa (1) yang
berkisah mengenai mereka yang mengikuti panggilan jiwanya. Untuk melakukan yang
benar-benar diinginkannya. Orang-orang mengatakan passion. Passion itu adalah
gampangannya kalau kau mengerjakan sesuatu rela untuk tidak dibayar, dan kau
mempunyai kepuasan jiwa. Wah ngopi termasuk ndak ya. Oke, daripada ngelantur
lebih baik saya sarikan sebisa saya, hehe.
Ada yang dinamakan hidup yang terpenjara (the caged life) ia selalu merasakan
ketakutan jika terjadi perubahan apa saja. “Apakah aku bisa survive?” fokusnya pada “aman atau
tersakiti”. Pada posisi ini seseorang berpotensi menjadi komplainer dan tak
bahagia melihat orang lain bahagia. Senang lihat orang susah, sudah lihat orang
senang.
Yang selanjutnya adalah ia yang mempertahankan kenyamanan (the comfortable life) ia akan bertanya
“apakah saya akan diterima atau berhasil?” fokus mereka adalah penerimaan.
Mereka seringkali mengalami kebosanan karena menjalani hari dengan rutinitas-rutintas.
Dan yang selanjutnya pemantik lentera jiwa. Ia akan bertanya
“apakah saya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualisasikan potensi diri
saya? Apakah saya telah menjalankan hidup yang inspiratif dan menginspirasi
orang lain?” bagi pemantik lentera jiwa hidup adalah keajaiban dan kebermakaan.
Mereka tak takut menghadapi gelombang gelombang ancaman. Mereka hanya peduli
“apakah ini benar atau tidak dan apakah ini meaningful?”
Para pemain bola mungkin telah mampu mematik lentera
jiwanya. Apakah para penontonnya juga?
[Ahmad Shobirin/13/03/2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar