Salam

Terimakasih atas kesediaanya membaca tulisan-tulisan dalam blog ini. Semoga memberi manfaat. Keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan semoga senantiasa melingkupi kita semua. Mari menikmati hidup ini...

Kamis, 13 Juni 2013

Kaidah Emas Belas Kasih

Kali ini saya telah membaca buku “Compassion” karangan Karen Armstrong. Buku yang telah saya beli beberpa waktu lalu. Tepatnya tanggal 27 april 2013. Kofer bukunya bagus, apalagi isinya. berbicara tentang Kaidah emas berbelas kasih. 

Emm, jika membaca buku ibarat naik pohon mangga, maka Anda saya petikkan beberapa buah saja di blog ini. Selebihnya nanti. hihi. Maklum saya juga kadang emoh untuk baca tulisan panjang-panjang. 


Begini, mungkin sebagian dari pembaca merasa agama itu sebagai bagian dari masalah kekerasan, kebencian yang hadir di muka bumi ini. Nah dengan membaca buku ini, kita disadarkan bahwa sebenarnya agama bukan dipandang sebagai bagian dari masalah, namun sebagai bagian dari solusi. Karena sebenarnya nilai-nilai etik seringkali diperoleh dari inti ajaran-ajaran agama yang ada. Memang sebenarnya kan demikian. 

Dikatakan dalam buku itu, salah satu tugas utama zaman kita ini tak lain adalah membangun sebuah komunitas global yang di dalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati.[1] Semua agama, nampaknya sepakat jika ujian spiritualitas sejati adalah belas kasih kepada sesama yang akan membawa kita berhubngan dengan zat yang transenden yang kita sebut Allah, Brahman, Nirwana, Dao dan lain sebagainya. Mereka merumuskan dengan versinya sendiri mengenai sebuah kaidah emas yakni “jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak Anda inginkan untuk diri Anda sendiri” atau dalam bentuk positifnya yakni”selalu perlakukan orang lain sebagaimana yang Anda inginkan untuk diri Anda sendiri”.[2] Kepada siapa hal itu dilakukan? Semuanya, bahkan yang kita anggap sebagai musuh.

Compassion itu, secara harfiah berarti menanggungkan sesuatu bersama dengan orang lain. Dengan kata lain menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, untuk merasakan penderitaannya seolah-olah itu perasaan kita sendiri, dan secara murah hati masuk ke dalam sudut pandangnya. Dengan demikian kita diminta untuk melihat kedalam hati kita sendiri, menemukan apa yang membuat kita tersakiti dan kemudian menolak dalam keadaan apapun yang menimbulkan rasa sakit pada orang lain. Ia adalah sikap altruisme konsisten dan berprinsip. 

Belas kasih tidak bisa terlepas dari kemanusiaan, karena hal itu adalah sesuatu yang alami bagi manusia. Seruannya untuk menyisihkan ego kita dalam tenggang rasa yang konsisten terhadap orang lain, akan membawa kita ke dimensi keberadaan yang melampaui keberaaan normal kita yang terikat pada diri sendiri. seseorang yang benar benar manusiawi akan konsisten berorientasi kepada orang lain. 

Toh kita tak mau dihancurkan oleh penderitaan kita sendiri dan oleh kesengsaraan yang kita lihat disekitar kita. Kita didak ditakdirkan untuk hidup dalam kesengsaraan, kebencian dan iri hati. Siapapun dari kita bisa menjadi orang bijak. Kita perlu ketenangan batin agar kita terangkat untuk bisa mengatasi ganguan-gangguan kecil dalam dunia egoisme, dan kita bisa berlindung pada saat masa-masa krisis.

Bukankah seseorang yang tidak memihak, adil, tenang, lembut, tenteram, menerima, dan membuka hati benar-benar merupakan tempat perlindungan. Seseorang yang benar-benar berbelas kasih seperti memetik sebuah senar di dalam diri kita yang beresonansi dengan sebagian kerinduan kita terdalam.[3]

Oke, gitu aja dulu ya. Mau ngopi dulu. Eh iya, tambahan dikit, sayang Karen Amstrong (mungkin) belum mengkaji budaya Jawa. Sebab budaya Jawa juga banyak mengandung kearifan-kearifan yang menekankan bagaimana hidup berbelas kasih dan bahagia berdampingan dengan orang lain. Kudu biso ngrumangsani, Nguwongke liyan. Ndak tahu deh.

Enjoy| 
Ahmad Shobirin Obiyoso




[1] Hal 9
[2] Hal 10 
[3] Hal 209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar